AKU BUKAN BABU
Bab 3
Tahun 2012 ....
Aku dan Anggi sudah lama bersahabat. Dari kecil, kami selalu satu sekolah. Kuliah dan sampai bekerja pun di tempat yang sama. Kami sekarang bekerja di sebuah bank BUMN di kota ini.
"Kamu terlalu berlebihan, Gi. Menurutku, ini semua cuma faktor keberuntungan aja."
"Ah, kamu tuh selalu aja merendah. Padahal, aslinya emang keren abis," sanggah Anggi yang membuatku menatap wajahnya sambil tersenyum.
Kualihkan pandangan pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan. "Udah sore. Ayo, kita pulang!"
"Iya, ayo!" sahut Anggi.
Aku dan Anggi jalan bersisian menuju anak tangga. Beberapa orang yang berpapasan, menjabat tanganku seraya mengucapkan selamat atas kenaikan jabatan yang kuperoleh. Satu per satu kami turuni anak tangga sampai berada di lantai bawah.Kami pun berjalan menuju pintu keluar yang seluruh bagiannya dari kaca.
"Waaah! Wajah Bu Bibah terlihat berseri-seri, nih." Pak Karman–security bank–tempatku bekerja, menyapa seraya mengulas senyum di depan pintu. "Ngomong-ngomong, selamat, ya, Bu, atas kenaikan jabatannya. Saya ikut senang dengernya."
Kubalas senyuman Pak Karman. "Ah, Bapak, bisa aja. Terima kasih, ya, atas ucapannya."
"Sama-sama, Bu. O ya, pacarnya Ibu udah nungguin dari tadi di depan. Katanya mau jemput Ibu," ujar Pak Karman memberi informasi.
Kukerutkan kening. "Pacar? Pacar yang mana, Pak?"
"Itu, lho, pacar Bu Bibah yang tentara itu. Sekarang dia sedang ngobrol sama Bapak Polisi di pos penjagaan," terang Pak Karman.
"Aduh! Aku lupa."
Aku menepuk kening. Aku lupa kalau Mas Imam telah menjalin kasih denganku enam bulan belakangan ini. Tentara ganteng itu awalnya merupakan customer-ku. Ia datang ke bagian customer servis karena ingin mengganti kartu ATM yang telah rusak. Mas Imam yang supel, terus saja mengajakku berbincang ketika itu. Hingga pada akhirnya kami pun saling bertukar nomor ponsel. Kedekatan pun berawal dari sana. Mas Imam sering menghubungiku. Ia selalu menghujaniku dengan berbagai perhatian.
Segala perhatian dan kebaikan yang Mas Imam tunjukan, mampu membuat hati ini meleleh. Kami pun memutuskan untuk berpacaran.
"Bibah, parah ih. Masa sama pacar sendiri bisa lupa. Jangan-janga nanti lupa juga sama nama sendiri," celetuk Anggi.
"Ya, gak mungkinlah lupa sama nama sendiri. Aneh-aneh aja kamu tuh. O ya, aku mau jalan sama Mas Imam. Kamu pulang duluan aja, ya! Nih, bawa motorku!" Kuserahkan kunci motor ke tangan Anggi.
Gegas, kubuka pintu kaca di depan mata. Kutinggalkan Anggi tanpa menunggu jawaban dari mulutnya. Berjalan menuju pos penjagaan yang letaknya di samping kiri gedung, bersebelahan dengan ruang yang di dalamnya terdapat mesin ATM.
Benar saja, Mas Imam sedang bercengkerama dengan Pak Polisi di sana.
"Mas," panggilku setelah berada di depan ruangan kecil berbentuk kotak itu.
Mas Imam menoleh. Senyuman terkembang seketika dari bibirnya. "Dek Bibah, udah pulang?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Iya, udah."
Setelah berpamitan pada polisi yang di papan namanya tertera nama Doni itu, Mas Imam langsung mengajakku pergi. Motor matic berwarna hitam menjadi tunggangan kami saat ini.
**
Aku dan Mas Imam duduk berhadapan di kursi. Meja bundar menjadi penyekat antara kami berdua. Mas Imam mengajakku ke Kafe Cinta. Kafe yang terkenal dengan suasana keromantisannya di kota ini.
Mas Imam katanya ingin membicarakan hal serius denganku. Hal itu ia sampaikan lewat chat WhatsApp semalam.
"Mas, emang hal penting apa yang ingin dibicarakan? Aku jadi deg-degan gini. Apa aku berbuat salah sama, Mas?" Aku membuka suara karena sudah sepuluh menit berlalu, Mas Imam hanya diam membisu. Manik matanya hanya fokus menatapku. Membuatku salah tingkah.
Mas Imam tersenyum tipis. "Enggak. Kamu gak punya salah apa-apa, kok, Dek."
"Ya, terus kenapa dari tadi ngelihatin aku kayak gitu? Bikin aku takut aja," protesku.
Bukannya menjawab pertanyaanku, laki-laki berambut cepak itu malah membungkukkan badan. Ia meraih tanganku sampai tangan kami berhenti di tengah-tengah meja.
"Ada apa, sih, Mas?" Aku makin tak sabar ingin mendengar masalah apa yang akan dibahas.
"Dek Bibah, belakangan ini Mas sudah banyak berpikir. Mas udah punya kerjaan yang mapan, pacar juga udah punya, lalu–"
"Lalu?" kupotong ucapan Mas Imam. Ia menghela napas.
"Lalu, usia Mas juga makin hari makin bertambah. Oleh karena itu, Mas pikir sudah waktunya untuk Mas berumah tangga. Maukah Dek Bibah menjadi persit-nya Mas?"
Aku terdiam. Mencoba mencerna kata demi kata yang Mas Imam ucapkan. Ya Tuhan, Mas Imam melamarku. Apa benar Mas Imam sedang melamarku?
"Mas, janji akan selalu membuat Dek Bibah bahagia. Akan Mas jadikan Dek Bibah ratu di istana kita."
Aku menerima lamaran Mas Imam. Kami langsung mengajukan nikah batalyon. Melewati dan menikmati setiap prosesnya. Kurang lebih sekitar tiga bulan kami melewatinya. Lalu, dua bulan kemudian kami pun langsung melakukan ijab kabul dan resepsi pernikahan.
Aku telah resmi menjadi istri seorang tentara berpangkat praka (prajurit kepala). Aku pun diboyong ke batalyon oleh Mas Imam. Menempati rumah dinas yang telah disediakan.
Namun, sebuah keputusan berat harus kuambil. Aku harus keluar dari pekerjaan yang selama dua tahun ini telah kugeluti. Di mana saat ini karier-ku sedang berada di puncaknya. Mas Imam menuntutku agar menjadi seorang istri sepenuhnya. Seorang istri yang bisa menyambut suaminya ketika pulang kerja. Bukan istri yang berangkat pagi dan pulang malam.
Sebagai seorang istri, aku harus menurut pada suami. Demi kebahagiaan rumah tanggaku, aku pun berhenti bekerja. Meninggalkan karier gemilangku demi berbakti pada suami.
**********
Di masa kini ….
Mas Imam pergi begitu saja setelah menusuk hatiku dengan perkataan pedasnya. Ia meninggalkanku yang berdiri mematung di dapur.
Ucapan Mas Imam yang ingin me-ratukanku selalu terngiang dalam ingatan. Makin dipikirkan, makin pusing juga otakku ini. Ternyata semuanya tak sesuai dengan ekspektasiku. Realitanya, aku malah seperti babu di rumahku sendiri.
Pernah terpikir ingin kembali ke dunia kerja. Kembali menjadi wanita karier yang penuh prestasi. Namun, wajah kedua anakku menahan ego-ku yang satu itu. Aku tak sampai hati menyerahkan Haris dan Vinny pada pengasuh ataupun neneknya. Aku ibu mereka, maka akulah yang harus memastikan tumbuh kembang mereka.
"Tante Bibah, kata Nenek mana air sama camilannya? Di depan udah pada menunggu." Rully–cucunya Bulek Eni–yang berusia sekitar sepuluh tahun, datang menghampiri.
Aku menoleh padanya. "Iya, bentar. Berisik banget, sih!" sentakku yang membuat anak itu berlari ke depan. Mungkin dia takut dengan suaraku yang meninggi. Biarkan sajalah. Lagi pula, aku kesal banget. Jangankan orang dewasa, anak sekecil itu saja sudah berani memerintahku. Menyebalkan.
Setelah selesai membuat kopi dan es sirup, aku mengambil stoples berisi camilan di dalam buffet. Kuantarkan pesanan mereka semua dengan menggunakan nampan.
"Silakan," ucapku seraya menata gelas dan stoples di karpet.
Tak ada satu orang pun yang mengucapkan terima kasih padaku. Sungguh terlalu.
Bersamaan dengan itu, ponsel di saku celanaku bergetar. Dari getarannya, sepertinya itu pesan masuk.
Kurogoh ponsel itu dari saku. Kemudian, memeriksa isinya. Benar saja, ada pesan dari Bu Danton yang memberitahukan mengenai kegiatan Persit besok.
Seketika seringai terbit di wajahku. Aku punya ide untuk mengerjai tamu-tamu di rumahku ini.
Bersambung ….
0 Comments