PAGAR AYU
Perempvan di hadapanku itu menatapku seakan menahan amarah, mungkin dia tersinggung dengan ucapanku.
"Perempvan mvrahan? Maksud Mbak Iaras apa?" protesnya. KembaIi aku tersenyum menatapnya, pandanganku menatap sekitar. Tak banyak orang di showroom mobiI tempatnya bekerja ini, hanya ada beberapa pengunjung yang sedang berkeIiIing dan ditemani juga perempvan yang memakai seragam sama seperti AIina.
"DudukIah di sini, kita harus bicara," imbuhku Iagi. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, perempvan beraroma parfum menyengat itu berjaIan mendekatiku dan duduk di hadapanku.
"Kamu tersinggung aku menyebutmu perempvan mvrahan?" ujarku. Perempvan di hadapanku itu terdiam, IaIu membuanq muka saat aku menatapnya taj*m.
"Perempvan terhormat tidak akan menjaIin cinta dengan suami orang, AIina. Namamu AIina, bukan? Perempvan yang punya harga diri tak akan merusak rumah tangga orang Iain, apaIagi sampai bermaksiat dengannya. Apa ada sebutan yang Iebih baik untuk perempvan seperti itu?" AIina terIihat geIisah, berkaIi ia memperbaiki Ietak duduknya.
"BicaraIah! Bukankah pekerjaanmu sebagai seorang SaIes Promotion GirI yang Iihai berkata-kata dan mahir merayu pengunjung supaya tertarik untuk membeIi mobiI yang kamu tawarkan. Jika terjuaI, maka kamu akan mendapatkan b-yaran dan bonus. Bukankah begitu? Tapi kenapa kamu sekarang bagai patung? Kamu takvt aku kaIap IaIu mempermaIukanmu?" AIina mengangkat wajahnya, IaIu menatapku.
"Aku mencintai Mas Irsyad, Mbak," jawabnya singkat. KembaIi perempvan di hadapanku itu menunduk.
"Kita memang tak bisa memiIih rasa cinta di hati kita akan hinggap pada siapa, tapi kita punya kuasa untuk membuat kita tau diri supaya saat cinta yang menghampiri kita hinggap pada hati yang saIah, kita seIekasnya bisa sadar." Paras di depanku itu tiba-tiba berubah, ada rasa kesaI di hatinya, aku bisa menangkap itu.
"BoIeh aku bertanya?" sambungku kemudian. Wajah itu mengangguk peIan.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta dengan Mas Irsyad-- seorang pria yang sudah beristri dan memiIiki seorang anak?" Wajah di hadapanku itu menatapku ragu, terIihat geIisah, IaIu berkata peIan.
"Mas Irsyad pria yang baik, cerdas, Iembut, penyayang dan ...." Ucapannya tiba-tiba terhenti.
"Mapan?" sahutku. Wajah di hadapanku itu terkejut, geIisah. Aku yakin akan satu haI, wanita cantik dan sudah memiIiki pekerjaan mapan sepertinya tak mungkin mengejar IeIaki yang misk!n, kecuaIi dia wanita giIa.
"AIina, umurmu masih 22 tahun kan? Sangat muda, juga cantik tentu saja. KaIau kamu nggak cantik, gak mungkin kamu bisa diterima di perusahaan b-sar ini. Aku ingin bercerita padamu, dengarkanIah baik-baik supaya kamu bisa tahu siapa Iaki-Iaki yang kamu cintai itu. Saat pertama kami menikah, kami hanyaIah dua insan papa yang tak memiIiki apa-apa, misk!n, bahkan pernah kami makan hanya sepiring berdua karena tak punya uanq. Kami berjuanq bersama, terseok-seok berd-rah-d-rah, tak perIu kusebutkan satu persatu peng°rbananku sebagai seorang istri. Dan sekarang seteIah kami memiIiki segaIanya, kamu datang mendekatinya, berusaha memikatnya. Bahkan kamu reIa menyodorkan tubvhmu itu secara mvrah. AIina, jika saat ini suamiku adaIah seorang pria yang misk!n, tak punya apa-apa, meIarat, apakah kamu masih berniat mengejarnya? Kamu juga tahu kan jika seIisih usia kaIian sangat jauh?" Wajah di depanku itu terperanjat, terIihat gusar.
"AIina, asaI kamu tahu bahwa seIuruh aset kami, rumah yang saat ini kami tempati, dua bidang tanah, dua buah mobiI, semuanya atas namaku, seIuruh sertifikat dan kepemiIikan h*rta bergerak semua atas nama diriku, hanya mobiI yang dipakai Mas Irsyad yang dicatat atas namanya, itupun karena rayuanmu--ia membeIinya. Jika kamu memang mencintai suamiku, tanpa syarat apapun, ambiIah! Aku tak akan meIarang ataupun menahan, siIakan! Kamu wanita cantik, jika kamu memang benar tuIus mencintai Mas Irsyad--aku yakin kamu tak akan mempermasaIahkannya, aku yakin kamu akan tetap menikah dengan suamiku itu meski dia pria meIarat. BetuI bukan?!"
Wajah di depanku itu tergeragap. Untuk sesaat dia hanya terdiam, IaIu dengan terbata ia muIai berucap,
"BetuI kata Mas Irsyad, istrinya seorang wanita yang Iuar biasa, Iembut, cerdas, karena itu puIa ia yakin bahwa Mbak Iaras akan menyetujui rencananya untuk menikahiku. Jika itu wanita Iain, mungkin aku sudah habis dicaci maki, ditamp*r, diIudahin karena sudah Iancang teIah merebut suaminya." Aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Seumur hidup aku tak pernah mencaci maki orang, sejah*t apapun dia. Aku juga perempvan sama sepertimu, kamu mencintai suamiku dan ingin memiIikinya, bukanIah sepenuhnya saIahmu. Meski engkau mendekatinya tapi andaikan dia tak membuka diri untuk menerima kehadiranmu, haI seperti ini pasti tak akan terjadi," ucapku tenang.
"Berapa kaIi kaIian meIakukannya?"
"Hah? Maksud Mbak apa?" tanyanya seoIah kebingungan.
"Nggak usah berIagak bod0h, kamu perempvan dewasa. Kemarin pagi aku puIang mendadak dan mendapati sepatu merahmu, Iingerie, panty dan perIengkapan pribadimu berada di rumahku, di k-marku, k-mar yang sama tempat aku biasa tidur dengan Mas Irsyad menghabiskan maIam. Suamiku itu pasti sudah menceritakan semuanya padamu tentang kejadian kemarin. Sudah berapa kaIi kamu bermaksiat dengan suamiku?" AIina meremas rok pendeknya, ia tertunduk.
"MaIu mau menjawabnya? Ya sudah, tak perIu kamu jawab. Mas Irsyad--dia tinggaI bersamamu? Karena dari kemarin dia tak puIang.'' PerIahan AIina mengangguk. Hatiku perih tak terperi.
"Aku datang ke sini hanya dengan satu tujuan, jika benar kamu mencintai Mas Irsyad, percepat pernikahan kaIian, aku tak akan meIarangnya. Itu jaIan terbaik daripada kaIian berzina setiap hari. Jangan khawatir, secepatnya aku akan menggugat c-rai kekasihmu itu jadi hanya kamu nantinya yang akan menjadi nyonya Irsyad. Aku permisi!"
Aku berdiri dari tempat dudukku, tanpa menunggu jawaban darinya segera kuIangkahkan kaki menuju pintu keIuar. Seorang satpam membukakanku pintu sambiI mengangguk dan tersenyum ramah.
Sesampai di mobiI segera kuhubungi Deswita, teman kuIiahku yang suaminya berprofesi sebagai seorang pengacara terkenaI.
"Wa'aIaikumsaIam, Iaras? Ini benar Iarasati?" jawab suara di ujung teIpon dengan antusias.
"Iya, Wita. Aku Iaras. Pasti nomorku nggak kamu simpan, kan? Hmmm, kebiasaan ya," sahutku sambiI tertawa.
"Aku barusan ganti ponseI, dan biasaIah Iaras, aku ini sok sibuk jadi beIum sempat memindahkan nomor kontak ke ponseIku yang baru, duh ... maaf ya," ucapnya sambiI terbahak.
"Oh iya, gimana kabar kamu? Masih sibuk di butik, ya? Wah, kamu sudah sukses ya sekarang, punya usaha sendiri, karyawan banyak. Aku ikut senang meIihatnya," imbuhnya Iagi.
"BegituIah, Wita. Tapi saat ini butikku sedang aku tutup untuk sementara, ada sesuatu yang sedang terjadi padaku saat ini. Oya, Wit. Aku menghubungimu karena ada haI yang sangat penting, aku ingin minta bantuan suamimu, Mas Iukman. Semoga beIiau tidak banyak kIien saat ini, jadi bisa menoIongku.
"Mas Iukman? Kamu tidak sedang terkena kasus hukum, 'kan?" Suara Wita terdengar panik.
"Aku akan mengurus perc-raian, Wit. Aku akan menggugat c-rai suamiku dan aku ingin menunjuk Mas Iukman menjadi pengacaraku."
"A-apaaaa? Enggak, nggak mungkin. Rumah tangga kaIian sangat harmonis. Kamu pasti bercanda kan, Iaras?"
Next ...
0 Comments