Wanita Yang Kusia-siakan
"Kenapa kamu nggak makan?"
"Boleh kan nasi kotaknya saya bawa pulang, Pak?" Lukman bertanya dengan suara pelan. Pada sepasang sorot matanya, terpancar harap yang begitu dalam.
Hari ini adalah hari pertama program makan gratis dimulai di sekolah Lukman. Tepat sebulan sejak Rayyan mengajar di sana.
"Boleh." Rayyan mengangguk sambil menelan ludah. Namun, di kepalanya tumbuh rasa penasaran mengapa siswa di depannya ingin membawa pulang nasi kotak yang seharusnya dia makan bersama siswa lainnya. Terlebih penampilan Lukman yang begitu berbeda, terlihat begitu lusuh dibanding siswa lain.
"Makasih, Pak." Wajah kusam itu semringah. Senyum Lukman mengembang lebar.
"Kenapa kamu nggak makan di sini aja sama teman-teman yang lain?"
Mendapat pertanyaan sang guru, Lukman menjatuhkan pandangan sebentar ke meja di hadapannya.
"Saya mau makan sama Ibu. Ibu pasti belum makan. Di rumah nggak ada nasi, Pak."
Sontak saja jawaban Lukman membuat Rayyan tersentak. Hati pria tiga puluh tahun itu terasa ngilu. Tidak ada nasi, sesulit itukah kehidupan Lukman?
Tanda tanya semakin banyak tumbuh di benak Rayyan. Namun, pria itu memilih memendamnya.
Dia berbalik badan, menuju bangku miliknya.
Setelah jam pelajaran usai, Rayyan berniat berkunjung ke rumah Lukman. Dia ingin tahu seperti apa keadaan keluarga Lukman.
"Ngelamun terus. Mikirin apa, sih?"
Rayyan menoleh kepada rekan guru yang mendekatinya.
"Eh, Bu Sindy, nggak ada apa-apa."
"Jangan bohong, Mas. Kita bentar lagi mau nikah, jangan ada yang ditutup-tutupi, dong."
Rayyan mengedarkan pandangan. Rekan guru yang lain belum ada yang kembali ke kantor. Pria berkemeja biru polos itu menghela napas dalam.
"Lukman itu rumahnya di mana?"
"Jauh. Sekitar lima kilo dari sini. Kenapa memangnya?"
"Aku berniat mau ke sana."
"Ngapain?" Sindy mengernyit.
"Pengen tahu aja. Tadi, dia nggak makan saat pembagian makan gratis. Dia bilang mau bawa pulang nasinya ke rumah. Ibunya belum makan."
"Emm ... kalau gitu sama aku aja."
Rayyan menggeleng. "Nggak usah. Aku mau ke sana sendiri aja."
"Memang kamu tahu di mana rumah Lukman?"
"Nggak sih. Tapi, bisa tanya ke orang."
"Sama aku aja. Aku takut kamu kepincut sama ibunya Lukman, dia masih muda, loh," seloroh Sindy.
"Apaan, sih?"
Sindy terkekeh.
"Eh, tahu nggak. Lukman itu kalo diliat-liat kok mirip kamu, ya?"
"Jangan ngawur kamu!" Rayyan melotot ke arah tunangannya itu.
"Serius. Matanya kayak mirip sama mata kamu. Coba kamu perhatiin. Kalau dia putih kayak kamu, pasti bakal kelihatan jelas kemiripannya."
Dada Rayyan berdentam. Sejak melihat Lukman dari dekat, dia memang seakan merasa pernah bertemu dengan anak itu. Tapi, dia tidak tahu di mana.
Apa yang dikatakan Sindy benar?
Ah, tapi itu pasti karena kebetulan. Dunia ini luas. Jangankan hanya mata, banyak orang yang wajahnya mirip tanpa ada pertalian darah.
Rayyan dan Sindy menyudahi obrolan. Satu persatu guru lain memasuki kantor.
Sesuai janji, Sindy menemani Rayyan yang bermaksud berkunjung ke rumah Lukman setelah mengajar.
"Seharusnya Lukman kita ajak pulang bareng," ucap Rayyan setelah mobilnya baru saja berjalan.
"Dia pasti sudah jauh. Dia pakai sepeda, lewat jalan di ladang dan sawah."
"Aku mau singgah di warung. Kita perlu bawa sesuatu ke sana," kata Rayyan lagi.
Sindy hanya mengangguk sekilas, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Perempuan berkerudung cokelat itu membuka Google, mencari model gaun yang cocok untuk nanti dipakai di pernikahannya dengan Rayyan.
"Berhenti di sini," kata Sindy.
"Di mana rumahnya?"
"Kita jalan kaki dari sini. Mobil nggak bisa masuk."
"Jauh?"
"Lima ratus meter, lah."
"Kamu pernah ke rumah Lukman?"
"Pernah dua kali."
Rayyan keluar, lalu mengambil beras lima kilo dan sekantung snack juga mie instan yang tadi dibelinya. Sindy menawarkan diri untuk membawa kresek berisi snack.
Pandangan Rayyan mengedar saat berjalan. Hanya ada satu dua rumah sepanjang mereka berjalan. Selebihnya hanya ladang dan kebun karet.
Langkah Rayyan terhenti saat melihat Lukman tengah memunguti ranting-ranting kering, masih dengan seragam yang dia kenakan.
"Itu Lukman?" Rayyan menunjuk pada anak di tengah kebun karet.
"Iya kayaknya." Sindy mengangguk.
"Lukman!" seru Rayyan.
Lukman menoleh. Anak yang tengah merangkul ranting-ranting kering itu tampak terkejut melihat Pak Guru dan Bu Guru.
Rayyan dan Sindy menghampiri Lukman.
"Pak Guru, Bu Guru," sapa Lukman.
"Untuk apa kayu-kayu itu?" tanya Rayyan.
"Untuk dijual, Pak." Lukman tampak rikuh, senyumnya canggung. Anak itu mengelap peluh di dahinya.
Rayyan menoleh ke arah Sindy. Mereka beradu pandang. Pria itu menelan ludah. Kehidupan Lukman ternyata lebih memprihatinkan dari yang dia bayangkan.
"Lukman, biar Bapak yang bawa. Kamu bawa ini aja." Rayyan mengambil kresek yang dibawa Sindy, menyerahkannya pada Lukman.
Beras lima kilo gram dibawa oleh Sindy, sementara Rayyan membawa kayu-kayu bakar Lukman.
"Assalamualaikum, Ibu!" seru Lukman ketika dekat dengan sebuah rumah berdinding papan dan atap daun sagu.
"Bu, Ibu!"
"Waalaikum salam. Ada apa, Lukman?" Seorang wanita berhijab lebar keluar. "Kenapa teriak-teriak gitu? Kamu bawa apa ini?"
"Oleh-oleh dari Pak Guru sama Bu Guru!" Lukman menyerahkan kantong plastik yang dibawanya. Lalu, menoleh ke arah Rayyan dan Sindy.
Sembari mengalihkan tatapan, Maryam tersenyum lebar sebelum akhirnya senyum itu meredup seketika. Kresek hitam di tangannya pun terjatuh saking terkejutnya melihat siapa yang datang.
Sama halnya dengan Maryam, Rayyan membelalak dengan jantung berdegam hebat.
"Benarkah yang sedang kulihat saat ini? Benarkah dia wanita yang kuceraikan sepuluh tahun lalu karena terbukti hamil dengan lelaki lain?" Batin Rayyan bergejolak.
0 Comments