Jangan Panggil Aku Malika
Bab 18
Cepat-cepat aku membuang sandal ajaib nan memalukan ini ke bak sampah sekolahan.
Semua teman malah tertawa melihat tingkahku.
"Kau sudah cantik pun, kelakuan kau tak pernah berubah, Malika." Mala terkekeh.
"Ah, iya. Masaaakk? Aku sudah cantik beneran?"
Mala menatapku intens. Ia lalu menggeleng pelan. "Tak payah jelaskan."
Ish, Mala. Padahal aku ingin dipuji lagi. Tak paham juga dia.
Aku lalu memutar bola mata ke kiri, menghindari menatap Mala lagi. Namun, apa yang kulihat di depan kelas dua belas itu, si Galih lagi berbicara dengan si samawa. Iya, si Sakinah mawaddah.
Sesekali tertawa kecil, sesekali pula saling pandang. Owaahh, pelakor mengintai ini.
Oh, tidak. Cepat-cepat aku mendatangi dua sejoli yang akan terjebak CLBK itu. Berjalan gesit sembari menyingsing gamis bak orang yang hendak menagih utang.
"Hallo, samawa!" Aku menyapa, sembari membelah jalan di antara mereka yang berdiri.
Sakinah menautkan alis. Ia terlihat sebal atas kehadiranku.
"Ngapa kau, Malika?" Sakinah bertanya. "Mau jadi pelakor lagi kau?"
"Hah? Aku, pelakor? Tak salah dengar?" Lantas aku menaikkan jemari ke telinga dengan membukanya, agar mata Sakinah menatap cincin kawinku dengan Galih.
Jelas saja mata Sakinah langsung menyambar jari-jariku. "Uwoww, sudah tunangan kah kau? Atau itu cincin imitasi?"
Sialan dia, mengatakan cincinku imitasi segala. Tak tahukah dia, bahwa ini cincin masih dikredit si kelenjar?
"Hel, to the, low. Hellowww! Imitasi? Kau tak bisa bedakan mana emas asli dan pelsong?"
"Mau asli, mau palsu, bukan urusan gue!" Sakinah mulai akting. Si ratu kejahatan sudah bereaksi lagi ini. Pakai bahasa gaul lagi. "Yang penting, si Galih hunny bunny-ku masih cinta sama aku."
"What!!!" ujarku sembari liurku menyembur ke mana-mana. "Cinta? Dia itu sudah ada yang punya, dan kau mau jadi pelakor?"
Sakinah langsung mengusap muka akibat semburan beracun air liurku.
"Memangnya dia milik siapa? Selama janur kuning belum melengkung, dia masih bisa milik orang lain." Ingin ku-lem saja mulut samawa ini rasanya. Resek sekali.
"Janur kuningnya dia bukan melengkung lagi, tapi sudah tergulung-gulung macam benang kusut. Paham?"
"Eit, eit. Kalian mau berkelahi?" Galih bertanya dengan muka oon.
"Kamu nanyeaaaa? Kamu bertanyeaa-tanyeaaa?" Aku dan Sakinah menimpali kompak.
"Ya, sudah. Lanjutkan!"
"Hah?!" Aku ternganga. Si kelenjar malah pergi meninggalkan kami dengan muka menyebalkan. Rasakan kau di rumah nanti.
(POV GALIH)
Puas rasanya aku melihat Malika-ku sayang itu cemburu. Tak payah jelaskan bahwa kami sudah menikah, biar dia saja. Itu agar aku percaya, bahwa dia memang mencintaiku.
Lagian, susah payah aku berjuang biar bisa malam petama, dia tak mau-mau. Baru kusentuh sedikit, dia tertawa geli. Baru kusentuh sedikit, dia sudah mendorong tubuh cekingku.
Video biru diam-diam kutonton, minta sama si Agung temanku itu. Baru mau kupraktekkan, si Malika sudah kabur ke rumahnya. Nasib ... menikah sama musuh bebuyutan.
Aku mau merepet ke cewek-cewek yang lain juga, lah. Tebar pesona dan tebar senyuman. Biar makin panas si istriku.
Namun, kali ini dia tak datang-datang jua menghampiri. Baru kutengok, ternyata giliran dia yang mojok dengan si Kevin.
Oh, tidak! Bisa-bisa si Kevin yang terbalik jatuh cinta lagi dengan istriku itu. Tak bisa dibiarkan ini. Sudah capek-capek kurawat Malika dengan senang hati, kubelikan skincare mahal-mahal, giliran dia sudah cantik, si Kevin mau sama dia? Tak semudah itu ferguso, merebut istriku.
Aku bergegas melangkah menuju tempat Malika yang mojok di sudut toilet. Lirik-lirik macam orang kegatelan saja. Memang, ya, wanita, tak bisa dia bertemu dengan mantan, lalu saja merasa dicintai lagi.
"Malika, Sayang. Sebaiknya kita pulang saja. Acara juga sudah selesai. Nanti anak kita nangis di rumah."
Wajah Malika dan Kevin terkesiap mendengarku.
"Kalian sudah menikah?" Kevin bertanya.
"Kamu nanyeaaa? Biar aku kasih tahu, ya. Aku dan dia sudah menikah. Sudah punya anak satu. Kenapa? Kau kaget? Kau panik?" selorohku.
"Biasa saja. Bagus, dong, kalau kalian menikah. Cocok. Kalian sukses jadi pasangan fenomena tahun ini. Si Malika kedelai hitam, dan kelenjar getah bening. Cucok .... Selamat, bro!"
Kevin lantas tertawa. Ia lalu meninggalkan kami.
"Apaan kau bilang kita sudah punya anak." Alika menepuk jidatku.
"Kenapa? Kau tak rela dibilang sudah punya anak? Biar kau bisa dekat-dekat dia lagi?"
"Kenapa? Kau cemburu?" balasnya mencibir.
"Kau juga cemburu aku sama Sakinah tadi."
"Siapa bilang?"
"Hantu! Kau dengar sendiri aku yang bilang."
"Ish, pulang-pulang. Malas aku ikut reuni-reunian macam ni."
Malika lantas menarik tanganku dan menggandengnya pulang.
Oke, kali ini, tema kita adalah ... cemburu.
****
Di rumah, Malika terus saja menekuk muka macam orang yang sedang buang hajat. Diam dan selalu cuek. Kusapa, dia diam saja. Tak kutegur, dia makin terlihat marah.
Kali ini aku serba salah. Tak tahu hendak berbuat apa.
"Kau kenapa jadi lebih marah, Mal?" Aku menegurnya saat dia cuci piring dii dapur.
Dia diam saja.
"Malika sayang. Manisku. Kau kenapa?"
Diam lagi.
"Kalau kau tak mau bicara, biar aku pergi kalau begitu."
"Kau pikir saja sendiri apa salah kau!" bentaknya sembari membanting piring. Aku jadi kecut.
"EHEEEMMM!!!" Mamakku mulai menegur dengan deheman keras.
"Kenapa, Mak? Batuk?" Malika malah menyahut.
"Jangan keras-keras taruh piring. Nanti pecah!" sahut mamak.
"Tenang, Cinta Laura. Piringnya amaaannn." Lika lagi-lagi menimpali.
Kudengar Mamak terkekeh di ruang tamu.
Namun, wajah yang tadi senyum saat menimpali mamakku, kini malah berubah kecut lagi setelah dia menatapku. Pandai kali dia merubah wajah dan sikapnya. Macam bunglon saja. Depan mamakku tak berani dia ketus-ketus, tapi depanku, macam singa saja.
"Terus, urusan kita ini?" Aku bertanya lagi.
"Kau pikir sendiri!" juteknya dan berlalu pergi masuk kamar.
Mulai sudah penyakit wanita ini. Salah kita selalu disuruh pikirkan sendiri. Ya, mana kutahu salahku. Padahal dia sendiri yang mulai dekat-dekat si Kevin, seharusnya aku yang marah? Apa karena aku tebar pesona sama Sakinah?
Kali ini aku mulai mendekati Malika di dalam kamar. Ia sedang melipat baju. Seperti biasa, mukanya ditekuk lagi.
Kucoba membelai tubuhnya dari belakang.
Ia sontak terlonjak. "Apaan kau pegang-pegang. Geli!"
"Pegang dikit, Mal. Pengeennn."
"Kau pegang saja si Sakinah sana! Kan enak ketemu mantan."
Oh ... benar dugaanku. Ternyata dia cemburu.
"Cie ... cemburu." Aku menggodanya.
"Siapa bilang?" Dia ngeles.
"Barusan kau bicara."
"Halah. Kau itu yang sok ketampanan. Sok tebar pesona depan Samawa. Harusnya kau bilang saja, kalau kita itu sudah menikah!" cerocosnya dengan wajah kesal.
"Kau kira aku juga tak kesal waktu kau sama si Kevin? Wajah sok di anggun-anggun depannya. Aku yang buat kau glowing, bukan dia!"
Kali ini aku juga ikutan panas.
Malika lantas terdiam. Lalu, kemudian ia senyum-senyum sendiri dengan menutup mulut.
"Cie ... cemburu!" balasnya lagi nyengir.
Kulihat wajahnya kini tak dilipat lagi macam benang kusut.
Aku kemudian duduk di depannya. Memegangi kedua bahu sembari memandangi wajahnya. Dua mataku pun bertumbukan dengan tatapannya. Iya, kini kami sudah saling pandang dengan ... cinta.
Aku mendekati wajahnya. Kurasa kali ini ia tak mengelak. Geli juga tidak. Sudah kuhipnotis dia.
Dan ... kali ini semakin dekat dengan bibirnya. Bismillah ....
Gubrak!!!
"AWW!!"
Suara Mamak menjerit terjatuh di depan gang pintu kamar kami. Buat apa coba dia mengintai.
"He ...." Mamak nyengir melihat kami. "Cieeee ...."
Aduh, Mamak. Gagal lepas landas aku jadinya.
Link komedi 2 ya.
0 Comments