Cermin: Janda Seratus Lima Puluh Juta

 Bara menatap padaku, meraih tanganku dan menggeser posisiku ke depannya, lalu mengurungku dalam pelukannya dari belakang.

"Bagiku kamu yang paling indah," bisiknya di telingaku.
(Bara~Laras)
JANDA SERATUS LIMA PULUH JUTA



Part Acak
Di bawah temaram lampu bioskop pandangan kami bertemu. Bara meraih tekukku, perlahan wajahnya mendekat mengikis jarak di antara kami, semakin lama semakin dekat, hingga bingkai kami saling beradu. Entah karena terlalu hanyut dalam adegan yang kutonton, atau memang pesona Bara yang tak mampu kuhindari akhirnya kami sama-sama larut dalam suasana, melupakan tempat dimana kami berada.
Bara tersenyum mengusap pipiku yang mungkin sudah memerah karena percikan api cinta yang sengaja disulutnya, degup di dadaku bertabuh hebat diiringi hembusan napas yang memburu.
Aku memperbaiki posisiku, kulayangkan pandangan ke sekeliling, semoga tak ada satu orang pun yang memperhatikan kami.
Bara merangkulku kembali, menyadarkanku di dada bidang miliknya. Aku kembali memfokuskan pandangan ke depan, melanjutkan tontonan yang tadi sempat tertunda. Kubuka penutup minuman dingin yang sudah tak dingin lagi dan meminumnya, semoga saja bisa kembali menormalkan perasaanku yang dibuat tak menentu oleh Bara.
Selama aku menikmati film yang kutonton, Bara tak lagi berulah, hingga akhirnya aku merasa rangkulannya melemah. Kualihkan pandanganku padanya, ternyata dia sudah terlelap. Beralih aku yang menyandarkan kepalanya ke pundakku.
Film sudah selesai, semua penonton berangsur ke luar, tapi Bara masih nyenyak dalam tidurnya.
"Pacarnya ketiduran, Mbak?" sapa salah seorang pengunjung padaku.
"Iya," sahutku ramah, tak lupa kulemparkan senyuman padanya.
"Bara, bangun." Pelan aku memanggilnya sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, Bara tak bergeming.
"Bara, hei ...." Kugoyang-gayangkan pahanya.
Tubuh Bara mulai menunjukkan reaksi, dia mengusap wajahnya dan membenarkan posisinya.
"Aku ketiduran?" tanyanya sambil menguap.
"Iya, nyenyak sekali sampai-sampai tak mau kubangunkan."
"Oh, mungkin karena tidur dalam pelukanmu memberiku kenyamanan. Pegal?" Bara mengusap lenganku.
Aku menggeleng, "Ya sudah, ayo kita ke luar."
***
"Kita makan dulu, ya, kamu pasti sudah lapar," ujar Bara ketika kami sudah berada di luar gedung bioskop.
"Terserah saja," jawabku.
"Aku masih belum memahami makna di balik kata 'Terserah' yang di ucapkan para wanita," timpal Bara.
"Iya, ayo kita makan." Aku memperjelas.
"Begitu, jawab dengan pasti, sepasti perasaanku padamu," sahut Bara sambil mengerling.
Aku masih tak menyangka, ternyata Bara sesantai ini orangnya, padahal ketika pertama bertemu sangat kaku dan dingin.
Saat beberapa langkah lagi kami sampai di mobil, Bara melepaskan tangannya yang sedari tadi menggandengku, kemudian mempercepat langkahnya untuk membukakan pintu.
"Terimakasih," ucapku sebelum masuk ke mobil.
Bara sudah siap di bangku kemudi, mesin mobil juga sudah dihidupkannya, "Mana tanganmu?" ucapnya sambil menenggadahkan tangan kirinya padaku.
"Tangan?" tanyaku tak mengerti.
"Iya, tangan. Berikan tanganmu!"
Aku yang tak mengerti mengulurkan tanganku, dan langsung digenggam oleh Bara.
"Begini," ucapnya. Tangan kirinya menggenggam tanganku, sedangkan tangan kanannya memegang mantap stir di hadapannya, dan itu sudah bisa membuatku bahagia. Ternyata bahagia itu sesimpel ini.
Aku mengeluarkan gawaiku, gawai baru yang diberikan Bara tadi pagi. Diam-diam kunyalakan kameranya dan mengabadikan tangan kami yang saling menggenggam.
"Sekalian aja kamu mengambil fotoku atau foto kita berdua."
Aku tergagap, tak menyangka kalau ternyata Bara menyadarinya.
"Kenapa? Nggak mau foto bareng?" tanya Bara melirikku sekilas.
Aku bukannya tidak mau berfoto berdua dengan Bara, hanya saja aku tak percaya diri jika wajah kami bersanding dalam sebuah foto.
"Setidaknya besok jika kau merindukanku foto itu bisa menjadi penawarnya," ucap Bara.
"Kamu hanya tiga hari kan ke luar kotanya?" tanyaku.
"Rencananya begitu, tapi tak tertutup kemungkinan akan diperpanjang."
Aku hanya menganggukkan kepala, meski kuyakin kalau nanti hatiku pasti akan merindukannya.
"Ayo, kita berfoto bersama!" Kembali Bara mengajakku.
Meski sedikit minder kutekan icon kamera pada benda berukuran pipih itu dan mengarahkan layarnya pada kami. Bara sedikit menggeser duduknya padaku, dengan senyuman yang merekah dan penuh pesona dia menatap pada layar gawai, pun denganku, tak kusia-siakan kesempatan itu, aku pun ingin mengabadikan kebersamaan kami.
Beberapa foto dengan berbagai gaya kami sudah berhasil kuabadikan. Saat hendak menyimpan benda itu kembali ke dalam tasku, Bara mengajakku berfoto sekali lagi, dan aku pun menuruti permintaannya.
Kamera sudah menyala, bara menyuruhku sedikit merapatkan posisi kami.
Tepat saat aku mengambil gambar, Bara yang semula hanya mendekatkan wajahnya padaku langsung mengubah posisinya mencium pipiku.
"Perfect," ucapnya.
"Curang," kesalku. Aku selalu kecolongan, Bara sangat pintar mencuri-curi kesempatan.
"Curang bagaimana?" Bara terkikik.
"Kalau mau balas dendam juga nggak apa-apa, kok. Dengan senang hati kuterima," lanjutnya kemudian sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Males," sahutku.
"Bibirnya nggak usah dimonyong-monyongin, jangan salahkan aku jika nanti ...."
Sebelum Bara menyelesaikan ucapannya kututup wajahku dengan tas kecil yang sedari tadi di pangkuanku.
"Laras-Laras ... kamu menggemaskan sekali." Bara mengacak-acak rambutku.
***
Bara menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah restoran.
"Kamu suka seafood?" tanyanya sebelum kami turun.
"Suka," jawabku sambil bersiap untuk turun.
Dengan tetap bergandengan kami masuk ke restoran itu dan naik ke tingkat duanya. Bara memilih duduk di dekat jendela. Seorang pramusaji langsung menghampiri kami dan menyerahkan buku menu.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Bara.
"Apa saja," jawabku.
Setelah membolak-balikan buku menu, Bara menunjukkan beberapa menu pada pramusaji, dengan cekatan pramusaji tersebut mencatatnya, kemudian beranjak meninggalkan kami.
"Besok aku akan pergi, berjanjilah satu hal padaku." Bara menatapku serius.
"Janji?"
"Ya, berjanjilah untuk tetap menungguku dan berjanjilah untuk tetap menjaga hatiku."
Aku membalas tatapan Bara, bukankah seharusnya aku yang mencemaskan hal itu? Bara memiliki semuanya, harta, kedudukan, ditambah pula dengan fisik yang mendekati sempurna. Aku yakin di luar sana akan banyak wanita yang tertarik padanya, dan jika Bara mau dengan mudah dia akan mendapatkannya. Sedangkan aku? Aku rasa Bara adalah satu-satunya laki-laki yang menaruh perasaannya padaku, tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku, wajah pas-pasan, seorang janda dengan satu anak, harta pun aku tak punya. Lantas apa alasanku untuk menghianati Bara. Justru tanpa diminta pun sudah pasti aku akan menjaga perasaan Bara.
Kuraih dan kugenggam dengan erat tangan Bara yang dia letakkan di atas meja.
"Ya, aku berjanji," ucapku.
"Terima kasih, tapi genggaman tanganmu sangat kuat sekali," keluh Bara menatap tangan kami.
Aku tersenyum, "Itu menandakan kalau aku juga punya hati yang kuat."
"Ternyata kamu juga pintar menggombal."
"Itu bukan gombalan, tapi keseriusan," timpalku.
"Aku percaya." Bara menganggukkan kepalanya.
Seorang pramusaji menghampiri kami, membawakan pesanan yang sudah dipesan Bara kemudian kembali pergi.
"Hanya ini?" tanyaku karena yang terhidang hanya satu piring nasi, seekor kepiting besar dengan saos lada hitam, kemudian semangkuk sayuran pelengkapnya, juga satu gelas minuman yang jika kutebak adalah es lemon tea.
"Kenapa?" Bara balik bertanya.
"Bukan apa-apa, tapi ...."
"Kita makan sepiring berdua, biar romantis," sela Bara. Dia meraih sendok dan garpu lalu memberikan suapan pertamanya untukku.
"Setelah pulang dari luar kota, aku akan mengajakmu ke rumah orang tuaku, aku akan mengenalkanmu sebagai calon istriku dan aku akan langsung membahas rencana pernikahan kita."
Aku yang tengah mengunyah makanan tersedak mendengar ucapan Bara. Dengan cekatan Bara beranjak ke dekatku, dia mengusap-usap punggungku, kemudian menyodorkan minuman padaku setelah batukku berhenti.
"Pelan-pelan," ucapnya. Diraihnya tisu dari meja dan memberikannya padaku.
Entah kenapa horror saja rasanya ketika mendengar Bara akan mengajakku kembali ke rumah orang tuanya. Bukan tanpa alasan, ketika pertama aku ke sana saja tak ada sambutan ramah dari mereka, padahal ketika itu Bara hanya mengenalkanku sebagai kekasihnya. Bagaimana reaksi mereka nanti jika Bara mengenalkanku sebagai calon istrinya?
"Apa mereka akan menerimaku?" tanyaku.
Bara kembali duduk ditempatnya semula--di hadapanku. "Yang akan menikahimu itu aku, bukan mereka. Lagi pula kita ke sana bukan untuk minta ijin, tapi hanya memberi tahukan pada mereka kalau aku akan segera menikahimu."
Aku tak mengerti dengan ucapan Bara. "Tapi, bagaimana kalau ibumu tidak merestui?"
"Laras, aku sudah bilang, mereka merestui atau tidak aku akan tetap menikah denganmu. Bukankah selama ini mereka juga tidak perduli terhadapku, jadi tak ada alasan mereka mengatur-ngaturku dengan siapa aku akan menikah."
Aku melihat ada gurat kemarahan di mata Bara setiap kali membahas tentang keluarganya, tapi setidaknya aku paham setelah tempo hari Bara sedikit bercerita tentang keluarganya padaku, tentang perceraian ayah dan ibunya, tentang keputusan kedua orang tuanya yang lebih memilih menjalani hidup sendiri-sendiri dan memulai keluarga baru. Aku yakin, mungkin tidak mudah bagi Bara menghadapi itu semua. Seketika ingatanku tertuju pada Langit, akankah Langit juga merasakan hal yang sama dengan Bara? Mengingat tak lengkapnya kasih sayang yang dia dapatkan. Bagaimana pun Langit butuh sosok ayah yang bisa menjadi panutannya. Mungkinkah nanti Bara bisa memberikan itu pada Langit? Bisakah Bara menjadi sosok ayah yang baik untuk Langit? Aku tak menyangka, ternyata broken home begitu berpengaruh terhadap psikologis anak yang menjadi korban pertama dari peristiwa itu.
"Baiklah, bagaimana baiknya saja," ucapku kemudian. Aku yakin akan banyak rintangan yang akan kami lalui setelah ini.
"Apapun yang terjadi, aku mohon padamu, tetaplah berada di sisiku." Tak ada kepura-puraan yang kulihat dari raut wajah ataupun tatapan Bara saat mengucapkan kalimat itu padaku.
"Ya, aku berjanji."
Setelah itu kami sama-sama diam, hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Namun, Bara tetap menyuapiku hingga makanan yang terhidang itu ludes kami makan bersama.
Bara kembali menyalakan gawainya yang sejak tadi dia matikan. Rentetan notifikasi seakan saling berebutan untuk masuk.
Sejenak dia memfokuskan pandangannya pada benda itu, lalu menghirup napas dalam.
"Kita ke hotel dulu, ya. Nggak apa-apa, kan?" tanya Bara.
"Nggak masalah."
"Ada urusan yang harus segera kuselesaikan," ujar Bara.
Aku mengangguk paham.
***
Bara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan melebihi biasanya, sepertinya ada hal penting yang menunggunya di hotel.
Aku hanya diam, tak berani bersuara, takut nanti malah mengganggu konsentrasi Bara. Apalagi melihat wajahnya yang sangat serius.
Setelah tiba di hotel pun begitu, Bara hanya menganggukkan kepalanya jika ada yang menyapanya.
"Kamu tunggu di kamar, ya," ucapnya. Langkahnya mantap menuju ke kamar yang dihuninya.
"Iya," sahutku singkat.
Setelah tiba di depan kamarnya, Bara menempelkan card lock pada pintu, tak lama pintu berdenting tanda sudah tak terkunci lagi.
"Maaf, acara kita sedikit terganggu." Bara memegang pundakku dengan kedua tangannya.
"Tidak apa-apa." Kuraih dan kugenggam tangannya.
"Kamu istirahat saja dulu, lakukan apa yang kamu inginkan di sini, anggap ini adalah kamarmu," pesan Bara, kemudian dia mengecup keningku dan ke luar. Pandanganku tak lepas darinya hingga dia menghilang di balik pintu.
Aku menatap kamar ini dengan takjub, tak menyangka aku akan kembali ketempat ini dengan status yang berbeda, bukan lagi sebagai wanita bayaran, melainkan sebagai kekasih Bara.
Tempat ini menyimpan banyak kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan.
Aku melangkah ke ranjang berukuran besar, tak ada yang berubah, bahkan alas kasur dan sarung bantalnya masih sama saat terakhir aku ke sini.
Kurebahkan tubuhku, menghirup aroma tubuh Bara yang tertinggal di sana sambil melihat-lihat foto kami tadi. Aku tersenyum melihat potret kami dengan berbagai macam gaya, dan yang terakhir mataku terpaku menatap sebuah foto dimana saat itu bara mencium pipiku.
Mataku terasa berat, kucari lagu romantis yang sering diputar Bara di internet dan memutarnya. Aku berpikir untuk tidur sejenak sambil menunggu Bara menyelesaikan urusannya.
***
Cahaya lampu yang benderang langsung masuk ke mataku saat pertama aku membuka mata kembali, ternyata aku benar-benar tertidur.
Tanpa sengaja pandanganku langsung tertuju ke punggung Bara yang sedang berdiri membelakangiku dan menghadap ke jendela dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celananya, sepertinya dia sedang menikmati pemandangan di luar sana.
Kualihkan pandanganku pada jam yang tergantung di dinding, jarumnya sudah bertengger di angka delapan. Bergegas aku duduk, tak menyangka kalau ternyata aku tidur selama itu.
Bara yang menyadari kalau aku sudah bangun langsung memutar tubuhnya menghadap padaku.
"Ternyata sudah malam, kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanyaku.
"Kamu tidurnya terlalu pulas, aku tak tega," sahut Bara.
"Jangan cemas, aku sudah menelpon ibu dan mengatakan kalau kita akan pulang sedikit terlambat," ujarnya lagi.
Aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Ketika aku ke luar dari kamar mandi, tak kutemukan lagi Bara di dalam kamar, ketika aku mencarinya tak sengaja aku melihat bayangan dari balik gorden, kusibak gorden berwarna putih itu, ternyata itu bayangan Bara yang sedang berdiri di balkon.
Aku menyusulnya dan berdiri di sampingnya, mengikuti arah pandangannya ke langit lepas, melihat bulan yang bersinar terang dan dikelilingi oleh ribuan bintang.
"Indah, ya," ucapku memulai pembicaraan.
Bara menatap padaku, meraih tanganku dan menggeser posisiku ke depannya, lalu mengurungku dalam pelukannya dari belakang.
"Bagiku kamu yang paling indah," bisiknya di telingaku.
"Bohonga aja," sanggahku, berusaha terlihat biasa padahal dadaku sudah kembali berdebar kencang, semoga saja bara tidak menyadarinya.
"Setidaknya kamu hanya milikku, sedangkan mereka milik semua orang." Bara semakin mengeratkan dekapannya.
Aku tak bisa lagi berkata apa-apa. perlakuan Bara seolah-olah mampu melumpuhkan otakku sehingga tak bisa lagi merangkai kata.
Hening ... tak ada lagi suara di antara kami, membiarkan tubuh yang bicara dengan bahasanya.
Cerita ini sudah TAMAT di KBM App

Akun : Mella_Selfiana

Post a Comment

0 Comments

loading...