DITUDUH JADI JANDA PELAKOR TERNYATA DILAMAR BERONDONG!
D I O R
Liany menggenggam ponselnya dengan gelisah, sudah tiga hari tidak ada kabar dari suaminya. Sesibuk-sibuknya Adam pasti dia tetap mengirimkan pesan singkat. Dua malam belakangan ini dia bermimpi buruk, dilihatnya Adam berada di atas kapal yang sedang karam dan melambaikan tangannya. Jantungnya selalu berdetak kencang jika mengingat mimpinya itu.
Bunyi ketukan pintu mendadak membuyarkan lamunan Liany, bergegas dia membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Dua orang laki-laki berseragam mirip dengan suaminya tengah berdiri di depan pintunya.
“Benar ini dengan Nyonya Adam Pratama?” tanya salah satu dari mereka dengan sopan.
“Iya, benar saya Liany, istri mas Adam, silakan masuk, Pak,” jawabnya dengan perasaan tak menentu, Liany mempersilakan kedua tamunya itu masuk.
“Siapa yang datang, Lia?” Ibu mertua Liany muncul dari balik tirai kamarnya dan mengamati kedua tamu yang mengenakan seragam kerja yang hampir mirip dengan putranya.
“Kami dari perusahaan Veco Energy tempat putra Ibu bekerja, kami ingin mengabarkan sesuatu tentang putra ibu dan rekan-rekannya.”
Mendengar hal itu Ibu Witri bergegas duduk, Liany pun ikut duduk di tak jauh dari mereka.
“Rig pengeboran lepas pantai tempat putra ibu bekerja mengalami kecelakaan, terjadi ledakan besar dan beberapa orang tidak bisa selamat, termasuk putra ibu, Adam Pratama. Jenazahnya yang terlempar ke laut baru ditemukan pagi tadi dan sudah diterbangkan menuju kantor pusat bersama lima rekannya yang lain," terang laki-laki itu dengan suara berat.
“Apaaa? Bapak-bapak itu datang kemari untuk mengatakan jika anak saya Adam meninggal dunia?!” Nada suara ibu Witri meninggi, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Maaf, Bu, kami turut berduka, Adam termasuk dalam korban yang meninggal dunia bersama lima orang lainnya, sementara yang lainnya mengalami luka-luka. Jenazah bisa dijemput keluarga nanti malam di halaman kantor pusat.”
Air mata Liany tak tertahankan lagi, udara di sekitarnya terasa menipis, tetapi dia harus kuat, dia tidak boleh terjatuh dan lemah. Kedua tamu itu mengucapkan bela sungkawa dan berpamitan untuk berkunjung ke rumah korban lainnya.
Sepeninggal kedua tamu itu, ibu Witri seketika histeris, menangis meraung seakan tidak percaya jika putra kesayangannya, kebanggaan dirinya pulang dengan tanpa nyawa. Ibu mertua Liany itu menelpon mengabarkan semua anggota keluarganya tentang kabar buruk itu dan memintanya berkumpul. Juga seorang anak perempuannya, adik Adam, Eve yang sedang bekerja di luar kota diminta pulang segera. Liany tidak mengabari siapapun, toh memang dirinya hanya sebatang kara, dirinya telah lama menjadi yatim piatu dan tidak punya kerabat dekat.
“Kau … kau menantu pembawa sial! Kau yang membuat putraku mendapat celaka!” cecar ibu Witri tiba-tiba pada Liany.
“Ibu, tolong jangan berkata seperti itu, Lia salah apa sama Ibu, sampai Ibu tega berkata begitu?” Tangis Liany tak terbendung lagi, kematian suaminya sudah membuat nyawanya terasa ikut pergi separuhnya ditambah perkataan ibu mertuanya yang sungguh menambah pilu Liany.
“Aku tidak sudi melihat mukamu lagi! Pergi dari rumahku!” teriak Ibu Witri dengan penuh emosi.
“Baik, Bu, Liany akan pergi tapi tolong biar Liany lihat dulu mas Adam yang terakhir kalinya, Liany mohon, Bu,” pinta Liany yang duduk bersimpuh sambil memegang kaki ibu Witri meminta belas kasihannya.
“Baik … baiklah perempuan sial, kau boleh menunggu jasad anakku pulang, setelah ini jangan harap kau memiliki tempat di rumah ini dan juga santunan kematian putraku!” hardik ibu Witri sambil melepas tangan Liany dengan sepakan kakinya kasar.
Suara tangis terdengar bersahutan ketika keluarga besar ibu Witri mulai berdatangan, juga Eve adik ipar Liany yang terlihat sangat emosional.
“Pembunuh kau! Perempuan sialan! Kau penyebab kakakku tidak panjang umur, pergi kau… pergi!” Eve menjambak rambut Liany dengan keras dan mendorongnya, andai para tetangga tidak memeganginya Liany sudah terjatuh di teras rumah. Pekikan kecil dan gumaman dari para pelayat terdengar, banyak yang menaruh rasa kasihan pada Liany terlebih para tetangga yang tahu jika selama ini Liany diperlakukan semena-mena oleh ibu mertua dan adik iparnya. Bahkan gaji Adam yang besar tidak pernah dipegang oleh istrinya melainkan ibunya Adam.
Liany tak bisa duduk dekat jenazah suaminya, ibu RT merangkulnya untuk duduk di dekatnya sambil memberikan tisu. Liany menangis dalam diam, tak ada kata-kata dan tak ada perlawanan. Di sudut ruangan ibu-ibu mulai bergunjing dengan sikap kasar Eve dan ibu Witri pada menantunya itu.
“Kamu yang sabar, yaa Nak, ini semua sudah kehendak Allah, yang kuat yaa, Nak,” hibur ibu RT sambil mengelus bahu Liany. Perempuan muda itu hanya sanggup mengangguk dengan butiran air mata yang berjatuhan.
Setelah pemakaman, beberapa keluarga masih berada di rumah, mereka akan menggelar takziah selama tiga malam. Liany tak ubahnya seperti pembantu di rumah itu menuruti semua perintah ibu Witri dan Eve yang masih saja menampakkan rasa kesal kepadanya dibanding rasa duka mereka.
“Berapa santunan yang akan kita terima, Bu?” tanya Eve perlahan yang tertangkap telinga Liany saat membuat teh bagi keluarga besarnya.
“Sekitar dua ratus juta ada mungkin itu, katanya bisa dicairkan dalam waktu tiga hari atau seminggu,” jawab ibu Witri sambil menyiapkan gelas.
“Ibu akan kasih juga Liany?” lanjut Eve lagi.
“Ehhh … enak aja! Gak ada … gak akan Ibu kasih! Perempuan bawa sial, coba kalau kakakmu menurut nikah sama Selly mungkin sekarang kakakmu itu masih ada!” sergah ibu Witri.
“Janganlah begitu Mba Wit, gak kasihan kamu sama menantumu itu? Gajinya Adam selama ini kau pula yang pegang lha sekarang uang santunan kamu mau ambil sendiri, tega kamu,” tegur salah seorang kerabat ibu Witri, perempuan kurus berbalut gamis hitam longgar itu tak sengaja mendengar kata-kata ibu Witri.
“Heleh … jangan kau sok ikut campur dengan urusan keluargaku, sudah kau bayar hutangmu itu kah? Sok sok pula mau peringati aku!” bentak ibu Witri yang sukses membungkam perempuan itu.
Setelah tiga malam takziah dan tidak memerlukan tenaga Liany lagi, dengan kasar Eve melemparkan tas-tas milik Liany ke luar rumah. Sungguh tidak ada yang dapat mencegah perbuatan kejam itu. Para tetangga hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ibu dan anak yang sedang mengusir janda putra mereka. Ibu RT bergegas membantu mengambilkan tas Liany dan memintanya tinggal sementara di rumah mereka.
“Tidak apa, Bu, saya akan ke rumah bibi saya saja di pinggiran kota terima kasih atas tawarannya,” tolak Liany halus. Dia tidak ingin menjadi beban orang lain. Ibu Rt memasukkan amplop ke dalam kantong jaket Liany,
“Ini sumbangan dari beberapa warga, melihat perlakuan ibu Witri dan anak gadisnya itu, kami sepakat tidak akan memberikan uang duka ini kepada mereka. Kami memang menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya kepadamu. Semoga kelak kehidupanmu labih baik lagi, yaa Nak.” Ibu RT memeluk Liany sesaat. Rasa kasihan dan haru atas kesabaran Liany membuat matanya berkaca-kaca. Hingga Liany hilang di ujung jalan perempuan paruh baya itu masih berdiri di tempatnya.
Liany benar-benar ingin menangis sekarang, rumah bibinya yang dulu sempat mengasuhnya ketika kecil sudah rata dengan tanah. Ada bekas kayu yang telah berubah menjadi arang kehitaman tanda api besar pernah melalap rumah ini. Dengan menenteng dua tas di tangannya Liany kembali berjalan, kali ini tanpa arah dan tujuan. Gerakan halus di perutnya membuatnya semakin bersedih. Hingga,
“Liany! Kamu Liany 'kan?” Seorang wanita muda turun dari mobil mewahnya dan memastikan jika dirinya adalah Liany yang dikenalnya.
“Myla? Iya, aku Liany dan kamu Myla 'kan?” tanya Liajy berganti ke gadis yang tampak modis dan cantik itu.
“Yaa ampun mau kemana kamu? Bawa tas berat begini, mana lagi hamil, suami kamu mana?”
“Iya, Myla, aku sedang hamil enam bulan, suamiku ….” Dengan suara gemetar Liany bercerita singkat dengan apa yang menimpanya.
“Ayo ikut denganku, pasti mama tidak akan keberatan kamu tinggal bersama kami!” seru Myla sambil mengambil alih tas-tas Liany dan memasukkannya di mobil.
“Tante Katrin apa kabar?” tanya Liany menyebut nama mama Myla.
“Mama, baik-baik saja dan semakin sibuk, perusahaannya berkembang sangat pesat.”
“Om Rudy?” tanya Liany lagi, terakhir mereka bertemu saat itu Liany dan Myla masih kelas dua SMU.
“Papa, baik juga, dan yaah sama-sama sibuk.”
Liany membayangkan bibinya yang cantik dan lemah lembut itu juga suami kedua bibinya, om Rudy seorang pria yang ramah, baik hati dan … rupawan.
*Bersambung
Author : Joya Janis
Akun FB : Joya Janis
Akun Kbm App : joya_janis
link untuk full bab di kbm app
0 Comments