Hati Alina gelisah. Sejak kemarin sore, ia belum mendapatkan kabar lagi dari Bisma. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak semalam,begitu pun dengan Bastian. Kemarin, untuk berjaga-jaga, Alina memang meminta nomor Bastian kepada Bisma.
Alina berjalan menuju ruang tamu sambil mengelus-elus perut. Sementara menggigiti ujung kuku jari kanan. Itu adalah kebiasaan Alina jika hatinya sedang gundah gulana. Bahkan semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Sebentar-sebentar terbangun dan memanggil nama Bisma.
Alina memutuskan pergi ke rumah orang tuanya. Ia mencari niqab di dalam lemari, dan mencari warna yang senada dengan gamis yang ia gunakan. Menyambar dompet yang terletak di atas nakas, dan membawa ponsel yang sedari tadi berada di saku. Alina menyambar kunci mobil dan langsung berlari menuju garasi.
Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, Alina sudah sampai di rumah kedua orang tuanya. Ia melihat ibunya, Azizah, sedang menyapu halaman. Alina langsung turun, dan memeluk Azizah, kemudian menangis.
“Subhanallah, ada apa, Nak?” Azizah terkejut saat tiba-tibavAlina datang dan memeluknya. “Ada apa? Kok datang-datang malah nangis?”
Alina tak menjawab, ia terus terisak dalam dekapan Azizah. Akhirnya Azizah memutuskan untuk menuntun Alina masuk ke dalam rumah.
Burhanudin pun tampak terkejut dengan keadaan putrinya. Ia bahkan langsung melempar koran saat melihat Alina tersedu.
“Ada apa, Bu?” tanyanya panik. Ia membantu istrinya menuntun Alina dan mendudukannya di sofa ruang tamu.
“Nggak tau, Pak. Ini Alina datang tiba-tiba nangis dan peluk ibu.”
Karena Alina sama sekali tak menyahut, Azizah dan Burhanudin memutuskan untuk menunggu hingga perasaan Alina benar-benar tenang dan bisa diajak bicara.
“Mas Bisma nggak bisa dihubungi sejak kemarin sore, Pak, Bu.” Akhirnya Alina membuka suara. Ia melepaskan niqab, dan mengusap air mata dengan menggunakan tisu di atas meja. “Alina khawatir ada hal buruk terjadi dan menimpa Mas Bisma. Pak Bastian juga nggak bisa dihubungi.”
“Astagfirullah, Nak. Jangan ngomong gitu. Kita harus tetap husnudzon pada Allah.” Burhanudin mengusap kepala Alina pelan. “Jangan menduga hal-hal yang tidak baik. Tetap berpikir positif, Nak. Mungkin sedang tidak ada sinyal, atau ponselnya mati.”
“Tapi, Pak ….”
“Nggak usah pakai tapi. Sekarang kamu wudhu ya. Dhuha dulu. Berdoa pada Allah. Semoga perjalanan suamimu dilancarkan. Insyaa Allah semua baik-baik saja.”
Alina menuruti perintah bapaknya. Ia bergegas ke belakang mengambil wudhu, dan menjalankan ibadah di kamarnya semasa gadis dulu. Hatinya gundah gulana, tapi ucapan bapak benar. Saat ini tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa agar Bisma baik-baik saja.
Sementara di ruang tamu, kini justru Azizah yang terlihat cemas. Kini rasa khawatir turut menjalari pikirannya. Ia tahu benar watak menantunya itu, selalu mengabarkan apapun situasinya.
“Pak, bagaimana jika memang terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bisma, Pak?”
“Hush. Ibu kok malah ikutan ngawur. Istighfar, Bu. Istighfar. Doakan yang baik-baik. Kalau pikiran kita baik, insyaa Allah yang terjadi juga hal baik,” terang Burhanudin.
Sebenarnya, dalam hatinya pun terselip rasa cemas. Namun ia tetap harus berpikir waras. Bisa saja memang Bisma sedang berada di daerah yang tidak terjangkau sinyal ponsel.
Sementara di kamar, Alina menangis dalam sujudnya. Entah mengapa ia seakan mendapatkan firasat buruk. Alina tak pernah secemas ini, tapi kali ini, ia benar-benar khawatir. Sebenarnya sejak Bisma menyampaikan hajat ingin bekerja di sana, rasa berat itu lebih besar daripada rasa ikhlasnya. Hanya saja, melihat niatan Bisma yang mementingkan seluruh karyawannya karena proyek ini bernilai cukup besar, Alina tak sampai hati untuk mematahkan semangat. Apalagi ia memang mengenal Bisma. Bisma adalah seorang pekerja keras.
Tok tok tok. “Alina, boleh ibu masuk, Nak?”
Alina menyelesaikan doanya, kemudian mengusap pipinya yang dibasahi oleh air mata. Ia tak ingin menambah beban pikiran kedua orang tuanya. Hanya saja, jika sendiri di rumah, Alina merasa lebih sedih dan kesepian.
“Masuk, Bu. Pintunya nggak dikunci.”
Azizah membuka daun pintu, sambil membawa gorengan dan secangkir teh hangat. Meletakkannya di atas nakas, kemudian mengajak Alina duduk di tepi ranjang.
“Kenapa kita makan di kamar, Bu? Kita makan sama-sama saja di luar,” tolak Alina sopan. Orang tuanya selalu mengajarkan dirinya untuk makan di meja makan bersama seluruh anggota keluarga, kecuali jika sakit hingga tak sanggup untuk bangun.
“Na, sejak kapan suamimu tak bisa dihubungi?” tanya Azizah pelan. Ia tak ingin suaminya mendengar pertanyaannya itu. Burhanudin melarah Azizah mengatakan hal yang berkemungkinan membuat Alina sedih, hanya saja, rasa khawatirnya memaksa masuk lebih dalam.
“Sejak sore kemarin, Bu. Terakhir menelpon, Mas Bisma bilang ia harus melanjutkan sholat ashar agar tak sampai di daerah hutan terlalu malam. Tapi saat itu, aku mendengar suara gemuruh dan petir yang cukup besar. Makanya aku merasa sedikit cemas, Bu. Ditambah lagi, Pak Bastian, rekanan kerja yang pergi bersamanya juga tak bisa dihubungi.” Suara Alina terdengar parau. Kentara bahwa ia habis menangis.
“Ya Allah, lindungi menantuku. Hamba mohon padamu,” ucap Azizah tiba-tiba. Membuat Alina kembali menitikkan air mata.
“Doakan ayahmu selamat dalam perjalanan ya, Cu,” sambung Azizah lagi sambil mengelus pelan perut Alina yang mulai membesar.
Kini Alina benar-benar tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia menangis dalam pelukan Azizah, tanpa menyadari ada Burhanudin yang sedang mencuri dengar dari sisi luar kamar.
°°°
Alina dan kedua orang tuanya sedang makan malam dalam diam. Mereka terhanyut dalam pikirannya masing-masing, karena sampai sekarang Bisma tak juga mengirim kabar. Sudah lebih dari dua puluh empat jam.
Alina memaksa masuk nasi dan sup ayam ke dalam kerongkongan. Rasanya, ia benar-benar tak ingin makan, hanya saja, perutnya terasa lapar sehingga kepalanya terasa sedikit sakit. Yang ia pikirkan hanya Bisma, Bisma dan Bisma.
“Kamu nggak punya nomor teman kerja Bisma yang lain, Na?” Burhanudin memecah keheningan di antara mereka. Seharian ia berusaha bersikap tegar dan biasa-biasa saja, tapi malam ini ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Alina menggeleng. Itulah yang ia sesalkan seharian ini. Mengapa selama ini tak menyimpan kontak rekan kerja Bisma. Menghubungi kantor saat ini, tentu sia-sia. Semua pekerja pasti telah kembali ke rumah masing-masing.
“Apa yang harus Alina lakukan, Pak. Alina yakin sesuatu terjadi pada Mas Bisma. Mas Bisma tak pernah membiarkan Alina merasa cemas dan khawatir.”
Alina berkata dengan tatapan kosong. Ia bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya menyusul Bisma ke sana, tapi … Alina tak mengetahui keberadaan pasti sang suami.
“Pak, kita harus melakukan sesuatu. Kita tak bisa jika hanya menunggu.” Azizah menimpali. “Coba hubungi Aditya, mungkin ia punya jalan keluar.”
Aditya adalah kakak laki-laki Alina yang bekerja sebagai polisi. Azizah berharap, Adit bisa menggunakan koneksinya untuk mendapatkan informasi.
“Baiklah,” sahut Burhanudin sambil beranjak hendak meraih ponsel.
“Assalamualaikum, Mba Alina.” Sebuah suara terdengar memanggil Alina dari luar.
Alina bergegas meraih niqab di atas meja, dan berlari keruang tamu. Berharap itu adalah Bisma yang datang untuk memberi kejutan.
“Waalaikumsalam. Iya, maaf, siapa ya?” tanya Alina ketika melihat lelaki yang datang namun tak ia kenal.
“Saya Rusli, Mbak. Karyawannya Pak Bisma. Saya ke sini karena Mbak Alina nggak ada di rumah. Saya mau menyampaikan kalau … mobil yang dikendarai Pak Bisma mengalami kecelakaan, dan jatuh ke jurang, Mbak.”
“Astaghfirullahaladzim,” pekik Alina. Lalu pandangannya berubah menjadi hitam, kemudian Alina jatuh tak sadarkan diri.
TAK SENGAJA MENDUA - DIANADEE
storic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space-collapse: preserve;">
Baca cerita ini di KBM App dengan judul sama atau klik link di bawah ini
0 Comments