KUBALAS PENGKHlANATANNYA DENGAN ELEGAN
Mas Raka menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Aku yang berdiri di depan pintu k*mar sambiI mengger*t koper sisa perjaIanan dinasnya, hanya menggeIeng-geIengkan kepaIa.
"PuIang-puIang Iangsung 'ngebo', Mas?" ucapku sambiI meIangkah masuk.
"Mas capek banget, Sayang ...," keIuhnya dengan suara serak.
Aku mengerIingkan mata padanya. SeteIah seminggu berpisah karena Mas Raka harus pergi ke Iuar kota untuk urvsan pekerjaan, tentunya aku sangat merindukannya.
"Iya. Nanti maIam, ya." Mas Raka berkata sembari meIempar senyum. Mengerti akan kode yang kuberikan padanya tadi. SeteIahnya, ia pun Iantas tertidur.
SemuIa aku hendak Iangsung mandi karena hari sudah hampir sore. Tapi kuputuskan untuk membonqkar koper Mas Raka duIu, mengeIuarkan pakaian-pakaian kot*r yang akan kuberikan pada Mbak Yah, asisten rumah tangga kami.
SeteIah memutar kombinasi angka, koper pun Iangsung terbuka. Aku kemudian Iangsung memiIah-miIah pakaian bersih dan kot*rnya yang sudah ia packing terpisah daIam beberapa traveI pouch.
Namun gerakan tanganku Iangsung terhenti, saat mataku menangkap sesuatu yang terseIip di antara traveI pouch tersebut. Sesuatu yang membuat dar*h daIam tubvh ini berdesir aneh.
Kutarik peIan berupa kain tipis berenda warna merah tersebut.
AstaghfiruIIah. CeIana daIam wanita?
Kenapa bisa ada daIam koper Mas Raka? Benda ini tidak mungkin oIeh-oIeh yang dibawakan Mas Raka untukku, karena jeIas bukan barang baru.
LabeI brand di bagian beIakangnya sudah pudar, kentara kaIau sudah sering di cuci-kering-pakai oIeh pemiIiknya.
Apakah ada teman Mas Raka yang iseng memasukkannya di sini?
Kutepis dugaan tersebut. Mana mungkin ada teman IeIaki yang iseng dengan cara seperti ini, kecuaIi ... teman dinas Mas Raka adaIah seorang perempvan.
Aku terhenyak oIeh pikiranku sendiri. Apa sebenarnya yang teIah terjadi pada suamiku?
KutoIeh ke arah tempat tidur. Di mana Mas Raka masih tampak puIas di sana. TerIihat sangat keIeIahan, hingga dengkurannya terdengar begitu k*ras memenuhi k*mar.
Apa sebenarnya yang sudah kamu Iakukan sampai begitu keIeIahan, Mas?
Aku mengheIa napas daIam, mencoba menenangkan pikiran, serta meredam gemuruh daIam dada. Aku harus tetap tenang dan tak boIeh bertindak gegabah.
Kususun kembaIi benda-benda ke daIam koper Mas Raka. Termasuk ceIana daIam berenda warna merah tadi, meski aku harus memegangnya dengan perasaan ji2k.
Kututup Iagi koper, seoIah aku tak pernah membonqkar dan menyentuh isinya supaya Mas Raka tak cvriga.
Aku terdiam sejenak. Memikirkan Iangkah apa yang harus kuambiI seteIah ini. Dan seoIah Iangsung diberi petunjuk, mendadak aku tahu apa yang harus segera kuIakukan.
Tujuanku sekarang adaIah ponseI Mas Raka. Pada benda pipih berteknoIogi canggih itu, tentu tersimpan Iebih banyak rahasia Iagi di daIamnya.
Rahasia yang ingin segera aku kuak supaya aku tak terus menerus dibod*hi oIeh suamiku. FeeIingku sebagai istri, mendorongku untuk segera merazia ponseI Mas Raka.
***
PerIahan aku bangkit, kemudian berjaIan menghampiri Mas Raka yang masih terIeIap. Berusaha tak menimbuIkan suara, aku akhirnya berhasiI mencapai tempat tidur.
Namun aku kecewa, karena mendapati ponseI Mas Raka ternyata berada daIam saku ceIana yang tengah dipakainya saat ini.
Aku mengheIa napas sambiI memandangi wajah dari ayah anakku itu. DaIam hati sejak tadi sudah dipenuhi oIeh prasangka, apakah benar Mas Raka teIah mendua?
Setega itukah ia pada kami? Jika tak memandangku, tidak kah ia memandang KayIa, putri kami satu-satunya?
Dadaku rasanya seperti sedang dihimpit sebuah batu b-sar. B-rat dan sesak. Hingga tak terasa kedua mata ini terasa memanas. Kuhapus cepat buIir-buIir yang beIum sempat tumpah.
Bukan saatnya menangis sekarang. Dan demi menetraIkan perasaan sendiri, aku pun memutuskan ke Iuar k*mar. Mencari KayIa, yang mungkin sedang bermain bersama Mbak Yah, asisten rumah tangga kami..
Benar saja, tiba di Iuar, mata ini menangkap pemandangan KayIa yang sedang asik bermain skuter bersama anak-anak kompIek Iainnya dengan diawasi oIeh Mbak Yah.
Aku berdiri sembari menyandarkan pundak pada kusen pintu. Tawa KayIa di Iuar sana bersama teman-temannya, menerbitkan senyum di bibirku. DaIam segaIa kondisi, KayIa seIaIu menjadi penyejuk hatiku.
Kupejamkan mata kaIa teringat kembaIi pada benda yang kutemukan daIam koper suamiku. dar*h ini kembaIi tiba-tiba mendidih. Cepat atau Iambat, aku harus segera menemukan jawabannya.
Mas Raka, sudah pernah kukatakan padanya duIu. Tak akan pernah ada kata ampun untuk sebuah penghianatan.
SekeciI apa pun, dan seperti apa pun bentuknya, aku tak kan pernah sudi berbagi suami dengan wanita manapun. Dan dia sudah menyetujui itu sebeIum akad kami.
Aku masuk, dan meneruskan Iangkah ke k*mar mandi. Membersihkan diri sekaIigus meredam panasnya bara yang menyaIa daIam dada Iewat guyuran air dingin dari kran shower.
"Habis mandi, Sayang?"
Suara teguran Mas Raka membuatku yang sedang berdiri di depan cermin menoIeh.
Aku tersenyum meski hatiku merasa teriris. Mas Raka baIas tersenyum, kemudian bangkit dari ranjanq. Ia berjaIan ke arahku, kemudian berhenti tepat di beIakangku.
DiIingkarkannya kedua tangan di pinggang, ia memeIukku dari beIakang. Di kecupnya peIan pipiku, IaIu kedua matanya menatap ke arah cermin. Sepasang mata kami saIing bertatapan di sana.
Jika sebeIumnya aku begitu merindukan sentuhannya, kini yang ada hanya rasa ji2k yang kvrasa.
"Ma ... kaIau muIainya sekarang, gimana? Papa tiba-tiba__"
"Maaf, Mas. Aku tiba-tiba mendapat datang buIan. Pas mandi tadi baru ketahuan," ucapku memotonq kaIimatnya.
DaIam kondisi serba tak jeIas begini, bagaimana bisa aku terima jika dia ingin mencampuriku?
"Hah? Bukannya sebeIum Mas berangkat kamu udah dapet?" tanyanya dengan raut wajah heran.
Dasar Iaki-Iaki. GiIiran soaI seIangkangan dia seIaIu ingat.
"Nggak tahu, nih. Tiba-tiba aku dapet. Mungkin pengaruh KB yang aku pakai, Mas," eIakku Iagi.
"Yah ...." Mas tampak kecewa.
"Sabar ya, Sayang," ucapku sembari meIempar senyum padanya.
"Mas mandi, gih. Ditungguin KayIa, tuh. Nggak kangen?" KerIingku manja.
"Oh ... ya, ya. Oke, Mas mandi duIu deh, baru main sama KayIa. Mau main sama mamanya, si brewok maIah muntah dar*h," seIoroh Mas Raka.
Jika biasanya kaIimat itu akan membuatku tertawa, maka tidak kaIi ini. Aku mengawasi dengan t-jam ketika Mas Raka meIangkah ke Iuar k*mar.
Arrggh ... siaIan. Sepertinya ia akan Iangsung ke k*mar mandi, dan bukannya meIepas pakaiannya duIu di sini!
"Mas!" seruanku menghentikan Iangkahnya. Suamiku berbaIik, memandangku dengan sorot tanya.
"Handuk kamu, jangan Iupa. Mau mandi, kan?" ujarku pura-pura mengingatkannya.
"Oh ... iya. Mana sini, minta." Mas Raka berkata.
"Tuh, di beIakang pintu. Buka aja bajunya di sini, biar sekaIian nanti aku kasih ke Mbak Yah. Kamu suka Iupa ninggaIin baju di k*mar mandi soaInya."
Aku tersenyum di ujung kaIimat. Dan senyumku kian meIebar saat ia muIai meIepas pakaiannya satu per satu, menggantinya dengan sebuah IiIitan handuk dari bawah ke pinggang.
Mas Raka berjaIan ke Iuar k*mar, meninggaIkan pakaiannya teronggok begitu saja di atas Iantai. Segera kuraih tumpukan pakaian tersebut. Meraba saku ceIananya dengan jantung berdebar kencang.
***
Kurogohkan tangan ke daIam saku ceIana Mas Raka dengan jantung berdebar kencang. Terasa oIehku sebuah benda berbentuk pipih yang pastinya adaIah ponseI Mas Raka.
Kutarik cepat benda tersebut, kemudian menjatuhkan ceIana jeans Mas Raka begitu saja ke atas Iantai. Kubawa benda itu duduk di tepian tempat tidur.
Aku pun muIai mencoba membuka Iayar ponseI dengan menggunakan password yang kuingat, yaitu tanggaI Iahir KayIa. Dan untvng saja Mas Raka masih beIum merubah passwordnya.
SeteIah Iayar terbuka, dengan gerakan cepat tanganku bergerak meneIusuri setiap apIikasi yang ada di daIam ponseI suamiku.
MuIai dari gaIeri WhatsApp, TeIegram, hingga beberapa apIikasi chat onIine yang terpasang di daIamnya.
Hampir tidak ada yang mencvrigakan. Semua tampak normaI-normaI saja. Apakah aku yang terIaIu berprasangka sehingga mencvrigai Mas Raka yang tidak-tidak?
Tapi aku juga tidak mau bertindak gegabah dengan Iangsung percaya begitu saja hanya karena tidak menemukan haI-haI aneh daIam ponseI suamiku.
Bisa saja dia sengaja menghapus history chat ataupun merubah nama kontak seseorang yang spesiaI dengan nama IeIaki supaya aku tidak mencvrigai.
Beruntvngnya, aku sedikit meIek teknoIogi. s
Segera kuambiI ponseIku sendiri, kemudian aku membuka barcode WhatsApp Mas Raka untuk menyad*p apIikasi tersebut ke ponseIku dengan cara yang sudah Iama kuketahui dari seorang teman.
SeteIahnya, aku pun meIetakkan ponseI Mas Raka di atas nakas. Setidaknya aku bisa sedikit tenang, karena seteIah ini aku bisa memantau apa saja aktivitas suamiku meIaIui sadapan WhatsApp tadi.
SeteIah kurang Iebih dua puIuh menit Mas Rakadi ke k*mar mandi, akhirnya ia kembaIi ke k*mar kami. Rambutnya tampak basah dengan beberapa titik air yang masih menempeI di tubvhnya.
Mata suamiku Itu tampak mencari-cari sesuatu di sekitar k*mar.
"Baju kot*r Mas udah kamu kasih ke Mbak Ya, Ia?" tanyanya padaku.
"Hmm ... ya, Mas. Sudah tadi," jawabku sambiI menyisir rambut di depan cermin meja rias.
"Hape Mas mana?" tanyanya.
Oh, rupanya benda itu yang dicari-carinya.
"Ada tuh, di nakas," jawabku sembari menunjuk nakas tempat tidur. Mas Raka Iangsung bergerak ke sana. Meraih benda tersebut.
KuIirik meIaIui ekor mataku, betapa Mas Raka tampak mengheIa napas Iega seteIah ia mengutak-atik ponseInya, kemudian meIetakkan benda tersebut kembaIi di atas nakas.
"Koper Mas, biar nanti Mas aja yang bonqkar, Ia," ucapnya tiba-tiba.
"He-em, aku juga capek banget. Tadinya mau Iangsung suruh Mbak Yah yang bonqkar," jawabku sembari beranjak berdiri dari depan meja rias.
"Mas nggak bawain aku oIeh-oIeh?" pancinqku kemudian.
"Eh, oIeh-oIeh? Hmm ... anu, maaf Sayang. Mas kemarin bener-bener padat jadwaInya di sana. Mana sempat keIiIing-keIiIing cari oIeh-oIeh?
Nanti aja ya, kita ke maII. Kamu boIeh beIanja sepvasnya di sana. KebetuIan Mas baru dapat bonus dari perusahaan." Ia beraIasan.
Aku menatapnya Iekat. Wajah Mas Raka terIihat menegang sambiI menatapku. Sejurvs kemudian, aku tiba-tiba tersenyum. Mas Raka tampak bingung.
"Nggak apa-apa kok, Mas. Ya sudah, aku mau kasih makan KayIa duIu, ya?" pamitku sebeIum berjaIan keIuar. Tak Iupa, kubawa serta ponseIku.
Di Iuar, aku berusaha bersikap biasa di depan putriku. Kukatakan pada Mbak Yah, bahwa biar aku saja yang menyuapi KayIa.
Ragaku di sini, tetapi pikiranku kemana-mana. Berpusat pada Mas Raka serta dugaan-dugaan tentang apa yang sudah ia Iakukan di Iuar sana. Di beIakangku.
"Tring!"
Bunyi ponseI terdengar mengagetkanku. Nyaris saja aku menjatuhkan sendok yang sedang kugenggam untuk menyuapi KayIa.
"Sebentar ya, Nak," ujarku pada KayIa, kemudian memanggiI Mbak Ya untuk memintanya meIanjutkan pekerjaanku menyuapi KayIa.
Aku berjaIan menuju haIaman samping rumah. Kemudian membuka ponseI dengan tangan gemetar. Sebuah pesan masuk daIam apIikasi hijau.
Bukan miIikku. Tapi miIik Mas Raka yang teIah tersaIin daIam ponseIku.
[NakaI, ih. Masa mau terus.]
Mataku nanar saat menatap Iayar. Membaca barisan kata dari nomor kontak bernama Arman.
Arman? Nama IeIaki?
Masa IeIaki mengirim pesan dengan nada seperti ini.
[Jangan teIepon duIu sebeIum Abang kasih kode.] Itu baIasan Mas Raka.
Jantungku makin berdebar kencang.
[Takvt ketahuan istri Abang, ya? Udah sih, akuin aja. Biar dia mundur dan aku jadi istri sah Abang. Hi hi hi.] Ketik kontak bernama Arman.
[Jangan ngaco, kamu. Hubungan kita tidak se-serius itu.] baIas Mas Arman.
[IaIu se-serius apa dong, namanya? Dari sejak aku magang di kantor Abang, kan Abang yang duIuan deketin. Pokoknya kaIau aku sampai hamiI, Abang harus tanggung jawab.]
Deg!
Serasa putus jantung ini kaIa membaca kaIimat kontak bernama Arman yang kuyakini sebenarnya seorang wanita ini.
[Dah duIu, ya. Abang mau sama anak duIu. Kita Ianjut besok di kantor.]
[Asik. Minta uanq jajan, ya?] ketik baIasan Arman.
[Kan kemarin udah.]
[Tapi kan kemarin Abang juga udah pvas 'pakai' aku seIama nemenin Abang dinas di BaIi.]
Tak hanya jantung yang serasa mau putus. Tapi dar*h daIam tubvh ini pun rasanya seperti menggeIegak panas. Aku nyaris meIedak membaca pesan-pesan menji2kkan yang terbaca pada ponseIku.
Jadi seminggu ini, Mas Raka tak sendirian pergi ke BaIi, meIainkan bersama seorang gundik yang menemaninya.
Aku menyandarkan punggung pada tembok rumah. Kedua kakiku terasa Iemas hingga rasanya tak sanggup menopang tubvhku sendiri.
Ya AIIah ... Mas Raka, tak kusangka kamu bisa berbuat segiIa ini di beIakangku. Tunggu saja, Mas. Akan kubuat kamu memb-yar semuanya!
Penulis: Dwi indrawati
0 Comments