Cermin : Istriku Botol Y*kult

IIstriku Botol Y*kult

"Mas, adeknya ketinggalan itu. Kenapa ditinggal terus?" Sapa seorang wanita penjual ikan di pasar.
Aku lantas menoleh ke belakang, melihat wanita mungil kayak marmut itu melangkah cepat sembari menenteng tas anyaman berisi sayur-mayur. Kulihat napasnya ngos-ngosan menghampiriku.
Selalu saja dia tertinggal jika berjalan. Langkahku sudah lima, sementara dia baru satu.
"Tung-guin aku!" serunya dengan suara serak-serak basah sembari ngos-ngosan. "Kamu tinggal lagi, kule-mp4r pakai terong panjang!"
Aku mendengkus melihatnya, lalu balik lagi berjalan menghampirinya.
Wanita mungil yang tingginya sebotol yakult ini mendongak ke arahku.
"Bisa nggak kalau jalan itu dipercepat. Jangan kayak siput kamu! Dasar botol yakult!" gumamku kesal.
"Heh, botol bensin! Kamu itu yang kakinya kek enggrang. Aku baru jalan, langkahmu udah semeter. Kamu kira aku nggak capek lari ngejar-ngejar?"
Mulut kecil, tapi suara cempreng. Makin ribut dia nanti di keramaian.
Langsung saja kugendong bocah mungil dengan berat cuma 40 kilogram ini dengan satu tangan kananku, sementara tangan sebelahnya menenteng tas anyaman.
"Heh! Lepasin! Jangan kamu gendong-gendong!" Layla berteriak-teriak, sehingga mengundang semua mata tertuju kepadaku. Ada yang tersenyum, ada pula yang mengiba, sebab kata mereka aku menyik-s4 adikku.
Aku tak peduli, terus saja kuberjalan sampai di parkiran, lalu menaikkannya ke atas sepeda motor matic gede. Tubuh mungilnya kelelep motor dan badanku.
Sepuluh menit, kami tiba di desa tempat tinggal Layla si botol yakult. Iya, kami menikah baru dua minggu yang lalu, dan naasnya aku harus ikut tinggal di kampung ini dan tidur di dalam rumah yang sudah tua.
Jeder!
"Aw!" pekikku karena jidatku selalu kejedot pintu masuk rumah.
"Makanya kalau masuk rumah, harus ingat kalau kamu itu tiang listrik," celetuk Layla meledek. "Sudah tahu rumah pendek, masih saja kamu panjangin badan."
"Layla, kalau aku sudah terbiasa, nggak mungkin aku bisa kejeduk pintu," ujarku sembari masuk rumah. "Lagian siapa, sih, yang buat pintu masuk cuma 170 sentimeter? Sudah tahu tinggiku melebihi pintu ini."
"Kalau bapakku tahu aku punya suami tiang listrik, sudah lah dia buatkan pintu 200 sentimeter dulu," protes Layla.
"Suruh bapakmu ulang buat," ucapku tak sadar.
Eh.
Layla menatapku intens. Aku lupa, bahwa bapak dan ibunya sudah meninggal. Dia anak yatim piatu.
"Maaf," ujarku seketika.
Layla tak menjawab, dia terus saja masuk dapur untuk memulai masak. Tampak dari raut wajahnya bersedih.
****
Sial sekali nasibku memang. Harus tinggal di kampung demi bisa menjadi penerus perusahaan Papa. Syaratnya cuma setahun, tapi lama sekali menurutku.
Terpaksa menikahi wanita yang sama sekali tak kucintai memang sulit. Harus pura-pura suka agar dia tak bersedih. Agar Bik Minah juga tak kecewa.
Iya, Layla adalah keponakan dari Bik Minah. ART yang selama ini merawatku dari bayi, sampai umurku 25 tahun. Bik Minah rela tak menikah demi bisa merawatku sampai dewasa.
Aku sayang dia, melebihi sayangku pada Mama dan Papa yang selalu meninggalkanku bekerja.
Karena hanya wanita yang sekarang umurnya sudah 50 tahun itu saja yang menyayangiku dengan tulus.
"Mas Bayu kalau sayang sama Bibik, harus mau menuruti keinginan, Bibik," ujarnya dulu saat aku asyik bermain ponsel.
"Sayang, Bik. Memangnya kenapa?"
"Mas harus penuhi keinginan Bibik."
"Apa?"
"Mas mau menikah dengan keponakan Bibik di kampung? Kasihan dia, anak yatim piatu. Dia nggak punya siapa-siapa selain bibik."
"Apa, Bik? Menikah dengan orang kampung?!" Aku terperanjat mendengarnya. "Papa dan Mama pasti nggak setuju ini. Apalagi sama orang kampung!"
"Kata siapa? Papa sendiri yang minta Bik Minah," sahut Papa dari belakang tiba-tiba. "Kalau kamu terus-terusan jadi laki-laki yang nggak berguna, perusahaan Papa nggak akan aku serahkan sama kamu, sampai kamu mau belajar hidup mandiri dan menjadi anak yang bener. Kerjaanmu dugem ... terus. Kelayapan malam sampai pagi. Ngabisin duit dan nggak berguna. Pusing Papa lihat kamu!" seloroh lelaki berumur 55 tahun itu.
Aku berdecak. Tak tahu harus mengelak apa. Sebab yang Papa katakan memang benar. Aku selalu foya-foya sama teman-teman, mabuk-mabukan, dan dugem.
Untung saja aku anak lelaki satu-satunya. Sebab aku ada saudara, tapi perempuan yang masih SMP.
"Demi Bibik, Mas. Kumohon," sahut Bi Minah memelas. Wajah lugunya buatku tak berani untuk menolak. Sebab, seumur hidupnya dia abdikan hanya untukku, tapi ketika dia mengajukan permintaan, mau tidak mau harus aku turuti. Demi aku bisa membalas budinya.
Aku berkata berat, meski belum melihat calonnya sekali pun. "Baik, Bik. Ini demi Bibik, bukan demi Papa."
Seketika itu pula, senyum Bik Minah mengembang, begitu juga dengan Papa. Entah kalau Mama, apa dia setuju? Sebab Mama sedang liburan ke Singapura.
Pernikahan berlangsung begitu cepat dan sederhana tanpa acara pesta mewah. Apalagi di adakannya di kampung Bik Minah sendiri.
Saat aku baru saja melihat wajah Layla, hatiku langsung tersentak kaget. Sebab tubuhnya sangat kecil dan mungil untuk diriku yang tingginya180 cm.
Begitu juga dengan Layla. Tak kalah terkejut dan gemetarannya saat pertama kali melihatku.
Dia tanpa saringan langsung tercengang menggerutu di depan semua orang.
"Masyaallah. Badannya besar sekali, bagaimana dengan dalamnya?"
Judul di aplikasi: ISTRIKU SUPER MINI
Baca ceritanya di KBM app, ya. Kasih semangat biar lancar ide lanjutkan. Udah bab 15 di kbm. 😁😁
Klik link.
(Mohon maaf jika ada yang tak suka dengan istilahnya. Tapi cerita ini semata-mata hanyalah komedi dan tidak bermaksud menyinggung siapapun. Karena saya juga orang semeter tak sampai) 🙏🙏😄
"Mas, adeknya ketinggalan itu. Kenapa ditinggal terus?" Sapa seorang wanita penjual ikan di pasar.
Aku lantas menoleh ke belakang, melihat wanita mungil kayak marmut itu melangkah cepat sembari menenteng tas anyaman berisi sayur-mayur. Kulihat napasnya ngos-ngosan menghampiriku.
Selalu saja dia tertinggal jika berjalan. Langkahku sudah lima, sementara dia baru satu.
"Tung-guin aku!" serunya dengan suara serak-serak basah sembari ngos-ngosan. "Kamu tinggal lagi, kule-mp4r pakai terong panjang!"
Aku mendengkus melihatnya, lalu balik lagi berjalan menghampirinya.
Wanita mungil yang tingginya sebotol yakult ini mendongak ke arahku.
"Bisa nggak kalau jalan itu dipercepat. Jangan kayak siput kamu! Dasar botol yakult!" gumamku kesal.
"Heh, botol bensin! Kamu itu yang kakinya kek enggrang. Aku baru jalan, langkahmu udah semeter. Kamu kira aku nggak capek lari ngejar-ngejar?"
Mulut kecil, tapi suara cempreng. Makin ribut dia nanti di keramaian.
Langsung saja kugendong bocah mungil dengan berat cuma 40 kilogram ini dengan satu tangan kananku, sementara tangan sebelahnya menenteng tas anyaman.
"Heh! Lepasin! Jangan kamu gendong-gendong!" Layla berteriak-teriak, sehingga mengundang semua mata tertuju kepadaku. Ada yang tersenyum, ada pula yang mengiba, sebab kata mereka aku menyik-s4 adikku.
Aku tak peduli, terus saja kuberjalan sampai di parkiran, lalu menaikkannya ke atas sepeda motor matic gede. Tubuh mungilnya kelelep motor dan badanku.
Sepuluh menit, kami tiba di desa tempat tinggal Layla si botol yakult. Iya, kami menikah baru dua minggu yang lalu, dan naasnya aku harus ikut tinggal di kampung ini dan tidur di dalam rumah yang sudah tua.
Jeder!
"Aw!" pekikku karena jidatku selalu kejedot pintu masuk rumah.
"Makanya kalau masuk rumah, harus ingat kalau kamu itu tiang listrik," celetuk Layla meledek. "Sudah tahu rumah pendek, masih saja kamu panjangin badan."
"Layla, kalau aku sudah terbiasa, nggak mungkin aku bisa kejeduk pintu," ujarku sembari masuk rumah. "Lagian siapa, sih, yang buat pintu masuk cuma 170 sentimeter? Sudah tahu tinggiku melebihi pintu ini."
"Kalau bapakku tahu aku punya suami tiang listrik, sudah lah dia buatkan pintu 200 sentimeter dulu," protes Layla.
"Suruh bapakmu ulang buat," ucapku tak sadar.
Eh.
Layla menatapku intens. Aku lupa, bahwa bapak dan ibunya sudah meninggal. Dia anak yatim piatu.
"Maaf," ujarku seketika.
Layla tak menjawab, dia terus saja masuk dapur untuk memulai masak. Tampak dari raut wajahnya bersedih.
****
Sial sekali nasibku memang. Harus tinggal di kampung demi bisa menjadi penerus perusahaan Papa. Syaratnya cuma setahun, tapi lama sekali menurutku.
Terpaksa menikahi wanita yang sama sekali tak kucintai memang sulit. Harus pura-pura suka agar dia tak bersedih. Agar Bik Minah juga tak kecewa.
Iya, Layla adalah keponakan dari Bik Minah. ART yang selama ini merawatku dari bayi, sampai umurku 25 tahun. Bik Minah rela tak menikah demi bisa merawatku sampai dewasa.
Aku sayang dia, melebihi sayangku pada Mama dan Papa yang selalu meninggalkanku bekerja.
Karena hanya wanita yang sekarang umurnya sudah 50 tahun itu saja yang menyayangiku dengan tulus.
"Mas Bayu kalau sayang sama Bibik, harus mau menuruti keinginan, Bibik," ujarnya dulu saat aku asyik bermain ponsel.
"Sayang, Bik. Memangnya kenapa?"
"Mas harus penuhi keinginan Bibik."
"Apa?"
"Mas mau menikah dengan keponakan Bibik di kampung? Kasihan dia, anak yatim piatu. Dia nggak punya siapa-siapa selain bibik."
"Apa, Bik? Menikah dengan orang kampung?!" Aku terperanjat mendengarnya. "Papa dan Mama pasti nggak setuju ini. Apalagi sama orang kampung!"
"Kata siapa? Papa sendiri yang minta Bik Minah," sahut Papa dari belakang tiba-tiba. "Kalau kamu terus-terusan jadi laki-laki yang nggak berguna, perusahaan Papa nggak akan aku serahkan sama kamu, sampai kamu mau belajar hidup mandiri dan menjadi anak yang bener. Kerjaanmu dugem ... terus. Kelayapan malam sampai pagi. Ngabisin duit dan nggak berguna. Pusing Papa lihat kamu!" seloroh lelaki berumur 55 tahun itu.
Aku berdecak. Tak tahu harus mengelak apa. Sebab yang Papa katakan memang benar. Aku selalu foya-foya sama teman-teman, mabuk-mabukan, dan dugem.
Untung saja aku anak lelaki satu-satunya. Sebab aku ada saudara, tapi perempuan yang masih SMP.
"Demi Bibik, Mas. Kumohon," sahut Bi Minah memelas. Wajah lugunya buatku tak berani untuk menolak. Sebab, seumur hidupnya dia abdikan hanya untukku, tapi ketika dia mengajukan permintaan, mau tidak mau harus aku turuti. Demi aku bisa membalas budinya.
Aku berkata berat, meski belum melihat calonnya sekali pun. "Baik, Bik. Ini demi Bibik, bukan demi Papa."
Seketika itu pula, senyum Bik Minah mengembang, begitu juga dengan Papa. Entah kalau Mama, apa dia setuju? Sebab Mama sedang liburan ke Singapura.
Pernikahan berlangsung begitu cepat dan sederhana tanpa acara pesta mewah. Apalagi di adakannya di kampung Bik Minah sendiri.
Saat aku baru saja melihat wajah Layla, hatiku langsung tersentak kaget. Sebab tubuhnya sangat kecil dan mungil untuk diriku yang tingginya180 cm.
Begitu juga dengan Layla. Tak kalah terkejut dan gemetarannya saat pertama kali melihatku.
Dia tanpa saringan langsung tercengang menggerutu di depan semua orang.
"Masyaallah. Badannya besar sekali, bagaimana dengan dalamnya?"
Judul di aplikasi: ISTRIKU SUPER MINI
Baca ceritanya di KBM app, ya. Kasih semangat biar lancar ide lanjutkan. Udah bab 15 di kbm. 😁😁
Klik link.
(Mohon maaf jika ada yang tak suka dengan istilahnya. Tapi cerita ini semata-mata hanyalah komedi dan tidak bermaksud menyinggung siapapun. Karena saya juga orang semeter tak sampai) 🙏🙏😄 transition-property: none !important;" width="16" />

 

Post a Comment

0 Comments

loading...