IBU (Keadilan Untuk Putriku)
Putriku masih 10 tahun, menjadi korban rud4paks4 di sekolah. Akibat peristiwa mengerikan itu, kini dia harus hidup dengan kantong urin. Hatiku hancur, apalagi pelaku masih bebas, seolah tak tersentuh hukum. Aku memutuskan untuk balas dendam dengan caraku sendiri.
“Mayang!” teriakku ketika melihat kondisi mayang, putri kecilku. Dia terlihat berdiri, hendak keluar dari rumah sakit, dipapah oleh kedua orang tuaku setelah satu minggu dirawat. Aku melihat ada kantong urin tergantung di tubuh bagian kirinya. Apa kateter masih terpasang hingga pasien keluar dari rumah sakit?.
Apa yang terjadi?
Dengan segala pertanyaan besar menggantung di kepala, aku berlari ke arah putriku, memeluknya erat. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan putri kandungku setelah tiga tahun berpisah, hatiku remuk setelah melihat kondisinya.
“Ibu? Apa yang terjadi dengan Mayang?” tanyaku pada ibuku.
“Mayang mengalami kecelakaan di sekolah, bagian “itunya” robek karena terkena tongkat besi saat olahraga,” ucap ibuku lirih.
“Apa?”
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Itunya? Alat ke-lamin? Organ vitalnya? Apa itu yang ibu maksudkan?
Mendengar itu, aku tidak bisa lagi menahan diri. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memeluk putriku, berkali-kali mengucapkan maaf, maaf karena tidak bisa menjadi ibu yang baik, yang hadir dan menemaninya melewati hari-hari mengerikan.
Hati kecilku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku bicara empat mata dengan ayahku, pria paruh baya berusia enam puluh tahun, dengan penglihatan yang sudah tidak lagi seperti dulu, sedikit kabur.
Bapak menjelaskan dengan bahasa Jawa, secara runtut, dari awal peristiwa. Satu minggu lalu ada perwakilan dari sekolah yang datang, mengabarkan bahwa putriku mengalami kecelakaan saat olahraga. Dia segera dilarikan ke rumah sakit dan setelah dirawat selama satu minggu akhirnya kondisinya membaik.
Membaik? Lalu kantong urin itu?
Bapak menjelaskan bahwa kantong pipis itu dipasang hanya untuk sementara, karena saluran pipis milik putriku masih belum bisa berfungsi dengan baik, akibat luka robek, juga karena baru selesai dioperasi.
Semua biaya perawatan ditanggung oleh sekolah, kami tidak mengeluarkan biaya sedikitpun. Namun tetap saja, ada sesuatu yang janggal. Hati kecilku tidak bisa mempercayainya begitu saja.
Aku bergegas menemui dokter yang bertanggung jawab atas putriku, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dokter itu bernama dokter Anwar, dokter spesialis bedah.
Dokter menjelaskan semuanya, sangat detail, berusaha aku pahami dengan pikiran awamku ini. Penjelasan itu membuat seluruh tubuhku bergetar, dadaku sesak, dan keringat dingin membanjir. Aku menarik nafas panjang, mencoba tetap kuat.
“Dok, apa kecelakaannya separah itu?” tanyaku.
“Kebetulan saja tongkat besi itu mengenai tepat di alat genital, untung saja tidak ada retakan atau patahan pada tulang di sekitarnya dan itu patut ibu syukuri. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik,” ucap dokter Anwar.
Aku terdiam, berusaha memahaminya sekali lagi. Benarkah olahraga bisa mengakibatkan hal seperti itu? Apa yang anak-anak itu lakukan sehingga putriku harus mengalami hal seperti ini?.
“Apa bisa dilakukan visum?” tanyaku.
“Visum? Untuk apa bu? Ini kecelakaan,” ucap dokter Anwar. Dokter Anwar terlihat menatapku, dengan pandangan penuh pemahaman mengenai semua perasaan yang mungkin sekarang sedang menerjangku habis-habisan.
***
“Saya mengerti bagaimana perasaan ibu, yang penting putri ibu sudah mendapat penanganan yang tepat,” ucap dokter Anwar.
“Kita masih bisa menyelamatkan masa depannya, ini bukan sebuah aib, ini kecelakaan biasa,” lanjutnya menguatkanku.
Aku mencari tahu dari yang lebih tahu, di laman pencarian, mempelajarinya dengan seksama. Aku menemukan fakta bahwa kondisi yang dialami putriku bisa saja diakibatkan oleh trauma pada alat ke-lamin akibat pemer-kosaan, akibat ruda paksa, pada anak dibawah umur.
Dadaku seperti dihantam bogem mentah berkali-kali, darahku mendidih. Sekali lagi aku menemui dokter Anwar, untuk menanyakan semuanya setelah memiliki bekal pengetahuan yang menurutku cukup.
Dokter Anwar membantah, dia yakin putriku hanya mengalami kecelakaan biasa. Namun entah kenapa, hati kecilku tidak bisa mempercayai itu, naluri seorang ibu begitu kuat mendorongku untuk mencari tahu.
Setelah keluar dari rumah sakit, aku berusaha melakukan pendekatan pada putriku. Pelan-pelan dan sangat hati-hati.
“Mayang, bagaimana keadaan Mayang hari ini? Baik? Ibu akan mengurus Mayang dengan baik, ibu janji tidak akan meninggalkan Mayang lagi,” ucapku seraya mengelus tangan putriku itu.
“I-ibu janji?” tanya Mayang.
“I-iya,” jawabku yang berusaha yakin dan berharap aku bisa mengurusnya tanpa harus bekerja jauh.
Mayang memelukku dengan sangat erat.
“Ibu, Mayang mau di rumah saja, tidak mau sekolah,” ucap Mayang. Aku melihat masih ada trauma dan juga ketakutan di wajahnya.
“Mayang, apa Mayang mau cerita mengenai apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pelan-pelan setelah melepas pelukan itu dan menatap kedua mata Mayang.
Mayang menangis, tangis yang beberapa hari ini seolah dia pendam. Tangis itu pecah, dia bukan hanya menangis biasa, namun meraung raung, suaranya sangat menyayat hati.
“Ibu, ini Mayang sakit,” ucapnya lirih seraya memegang alat kela-minnya yang terpasang kateter.
“I-iya Mayang, i-ibu tahu, sabar ya nak,” bisikku dalam suara parau.
“Sakit ibu, sakit, sakit,” teriak Mayang yang satu minggu ini tidak aku dengar. Bahkan selama dua minggu sejak kejadian itu, dia terkesan hanya diam, walaupun trauma benar-benar terlihat dari wajahnya.
Aku berusaha menenangkan Mayang, hampir satu jam dia menangis dalam tangis penuh raungan.
“Ibu, pak, pak, guru itu jahat,” ucapnya lirih.
Mendengar itu mataku terbuka lebar, melotot, nyaris keluar.
Apa? pak guru?.
Aku mencari tahu kebenaran di balik kasus ini, menemui wali kelas juga kepala sekolah Mayang. Aku kaget, rupanya mantan suamiku, mas Harun bersedia menandatangani surat pernyataan bahwa keluarga Mayang tidak akan mengusut masalah ini dan menganggap bahwa ini semua hanya kecelakaan biasa.
Mantan suamiku dan istri barunya mendapat uang kompensasi, jumlahnya cukup besar. Seharusnya uang itu untuk Mayang, namun justru mereka pakai sendiri.
Hatiku begitu hancur, aku bekerja mati-matian sebagai TKW, jauh dari keluarga, untuk menghidupi putri kecilku juga kedua orang tuaku, namun apa yang terjadi? Putriku mengalami musibah yang sangat mengerikan. Benarkah ini kecelakaan? Atau benar adanya karena rudapaksa. Siapa pelakunya? Apa dia akan lepas dari jeratan hukum. Tidak, aku tidak akan membiarkan itu.
0 Comments